Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 17 Des 2024, 01:00 WIB

Makna Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran - Romli Atmasasmita

Foto: istimewa

Oleh: Romli Atmasasmita

Usia pemberantasan korupsi di Indonesia memasuki 79 tahun pemerintah melalui berbagai usaha serius dengan melakukan perubahan UU Tipikor Tahun 1999 dan memasukkan ketentuan-ketentuan yang tidak dibolehkan menurut standar perlakuan hukum HAM, seperti pembuktian terbalik dan penyadapan tanpa izin ketua pengadilan dan proses penyitaan dan perampasan aset tanpa toleransi terhadap hak asasi tersangka/terdakwa atas kekayaan yang mereka miliki serta implementasi UU TPPU Tahun 2010, tanpa memerlukan pembuktian tindak pidana asal melalui mekanisme pembuktian terbalik.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sesungguhya telah merupakan pelanggaran HAM (Bab XA UUD 1945), tetapi korupsi juga telah merampas hak sosial ekonomi 270 juta rakyat Indonesia.

Sasaran utama pemberantasan korupsi adalah penyelenggara negara karena masalah inti terjadinya korupsi adalah dalam penyelenggaraan negara dimulai dari perbuatan suap yang telah berusia dua dekade yang lampau dan terjadi universal di setiap negara.

Hal ini dibenarkan dalam UNCAC 2003 yang memasukkan suap atas pejabat publik asing pun dipidana. Sampai tahun 2023, Kejaksaan telah berhasil mengembalikan uang negara sebesar 208 triliun rupiah lebih mendekati angka 300 triliun rupiah. Sedangkan KPK berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar satu triliun delapan ratus miliar delapan ratus juta delapan puluh dua rupiah.

Total pengembalian kerugian keuangan negara dari kedua lembaga penegak hukum tersebut dalam kurun waktu 3–4 tahun adalah kurang lebih 300 triliun rupiah.

Keberhasilan pengembalian kerugian keuangan negara dari kedua lembaga penegak hukum tersebut merupakan kemajuan berarti di mana setidak-tidaknya membantu pemerintah yang tengah mengalami kekurangan pemasukan dari pajak setiap tahun.

Lebih jauh, pemasukan keuangan negara dari kinerja kedua lembaga penegak hukum tersebut dapat membantu pemerintah dalam pembiayaan program Bansos, BPJS, dan makan siang gratis yang kini tengah dijalankan pemerintahan Prabowo Subianto.

Persoalan serius dari pemasukan keuangan negara dari kinerja kedua lembaga penegak hukum tersebut saat ini adalah belum diketahui apakah pengembalian kerugian keuangan negara yang setiap tahun diumumkan ke hadapan publik tersebut benar telah diterima Kementerian Keuangan dan telah digunakan untuk program pemerintah selama kurun waktu tahun 2000 hingga 2003/2004.

Makna terdalam dari pemberantasan korupsi di Indonesia menjawab pertanyaan, apakah arah politik pemberantasan korupsi merupakan sarana untuk mengembalikan kerugian keuangan negara semata ataukah juga untuk membuat pelakunya dipenjara?

Pertanyaan ini menuntut perlu dilakukan reorientasi filosofi, visi dan misi pemberantasan korupsi di dalam sistem hukum pidana Indonesia terutama karena asas tiada pidana tanpa kesalahan-geen straf zonder schuld telah tidak relevan dengan perkembangan di sektor perekonomian nasional yang merupakan sumber utama pendorong kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Tidak Efektif

Telah terbukti asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak efektif mengurangi kejahatan dan residivis.

Kedua, asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak dapat menghentikan proses peradilan pidana yang dilaksanakan seperti ban berjalan yang mengakibatkan terjadi overkapasitas hunian di lapas yang mencapai 200 persen disertai ekses-ekses negatif seperti homoisme dan memunculkan klaster narapidana baru yang disebut white collar criminals berbanding terbalik dengan mereka yang disebut blue collar criminals.

Ketiga, implementasi asas tiada pidana tanpa kesalahan telah terbukti memerlukan anggaran biaya negara yang sangat besar, bahkan anggaran untuk Ditjen Pemasyarakatan tahun 1999–2000, menghabiskan 75 persen anggaran Kementerian Kehakiman.

Singkat kata dapat disimpulkan pidana dan penjara telah tidak berhasil membuat tobat pelaku kejahatan dan mengurangi secara signfikan kejahatan di mana faktor lingkungan sosial dan ekonomi rakyat merupakan pemicu keadaan yang semakin memburuk dalam penegakan hukum di Indonesia.

Reorientasi filosofis, visi dan misi pemidanaan seharusnya diubah ke arah prinsip utilitarianisme yang mengutamakan pertimbangan cost and benefit ratio (CBR) daripada punishment ratio semata-mata.

Dalam konteks ini perlu diambil contoh, kasus suap yang melibatkan dirut PT Garuda Indonesia yang dilakukan oleh perusahaan Boeing. KPK tidak berhasil menangkap dan menetapkan direksi PT Boeing sebagai penaggung jawab perusahaan sebagai pemberi suap (active bribery), tetapi hanya berhasil menetapkan dirut PT Garuda sebagai tersangka/terdakwa yang kemudian telah dijatuhi hukuman penjara dan pidana denda sebesar satu miliar rupiah.

Ketika KPK melakukan kunjungan ke Kejaksaan Agung AS untuk melakukan penyidikan terhadap direksi Perusahaan Boeing, telah dihambat oleh pihak Kejaksaan Agung AS dengan alasan telah dikeluarkan kebijakan baru oleh pemerintah melalui Kejaksaan Agung di mana terhadap direksi Perusahaan Boeing telah diberikan, penundaan penuntutan yang disebut, defferred prosecution agreement.

Defferred prosecution agreement yaitu kebijakan untuk menunda penuntutan dengan syarat, tersangka telah mengakui perbuatannya (suap) dan bersedia memenuhi syarat yang ditentukan Kejaksaan Agung, antara lain bersedia membayar denda penalti sebesar 10 x lipat dari pidana denda untuk dirut PT Garuda di Indonesia, dan Kejaksaan Agung AS akan memberikan proteksi terhadap Korporasi Boeing dari penyidikan dan tunutan negara mana pun, di mana korporasi Boeing terlibat suap.

Pertimbangan yang diajukan untuk proteksi tersebut adalah korporasi Beoeing termasuk wajib pajak yang patuh dan selama beroperasi telah memasukkan devisa yang signifikan kepada negara.

Berkaca pada fakta perubahan arah kebijakan pemerintah AS, dan kini telah diikuti oleh Inggris, Prancis, dan negara-negara anggota Uni Eropa lain; semakin menunjukkan asas tiada pidana tanpa kesalahan bagi negara-negara maju tidak dianut dan tampaknya lebih menguntungkan pendekatan CBR.

Dalam konteks pendekatan CBR, reorienasi politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan mengubah asas tiada pidana tanpa kesalahan menjadi asas tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut).

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.