Tanggalkan Ego Sektoral untuk Percepat Kebijakan Satu Peta
Ilustrasi Politik
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Semua kementerian/lembaga (K/L) diminta bisa menanggalkan ego sektoral untuk bisa mendukung percepatan kebijakan satu peta (one map policy). Kebijakan satu peta diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.
"Saya mohon dengan sangat, antara kementerian dengan lembaga, antara pusat dan daerah untuk menanggalkan egonya masing-masing," tegas Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, dalam kegiatan One Map Policy Summit 2024, di Jakarta, Kamis, sebagaimana siaran pers KSP yang dikutip di Jakarta, Jumat (12/7).
Untuk diketahui, kebijakan satu peta atau one map policy merupakan sebuah arahan strategis untuk mewujudkan satu peta nasional yang akurat, terintegrasi, dan menjadi dasar bagi pengambilan keputusan yang tepat dan akuntabel dalam mempercepat pembangunan nasional.
Seperti dikutip dari Antara, Moeldoko mengatakan Kantor Staf Presiden bersama Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan Satuan Tugas Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) KPK, mengawal ketat kebijakan satu peta melalui pemantauan dan evaluasi rencana aksi.
Moeldoko pun mengapresiasi Kemenko Perekonomian yang telah menindaklanjuti rencana aksi tersebut dengan pelaksanaan teknis di lapangan melalui proyek-proyek percontohan di beberapa daerah, seperti Kotawaringin Baru dan Pasuruan.
Tumpang Tindih
Hasilnya, lanjut Moeldoko, selama 2019 hingga 2024 terjadi penurunan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang (tumpang tindih) secara signifikan, yakni dari 77,38 juta hektare atau 40,6 persen dari luas daratan nasional menjadi 57,41 juta hektare atau 30,1 persen dari luas daratan nasional.
"Proyek percontohan ini bisa jadi tolok ukur bagi daerah lainnya," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Panglima TNI periode 2013-2015 ini juga menyampaikan tiga gagasannya untuk percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.
Pertama, tambah Moeldoko, pemanfaatan Geoportal Satu Peta untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih tata ruang, kawasan hutan, batas wilayah, izin, dan hak atas tanah, khususnya dalam Proyek Strategis Nasional. "Sehingga perselisihan terkait peta yang digunakan bisa diminimalisir," terangnya.
Kedua, melakukan integrasi data agar tidak terjadi lagi tumpang tindih data dan tercipta perencanaan yang efektif bagi pelaksanaan suatu program. Ketiga, tambah Moedoko, melibatkan partisipasi publik dari lembaga nonpemerintah, seperti akademisi, masyarakat sipil, dan asosiasi bisnis.
"Khususnya dalam konteks penyelesaian konflik pertanahan, bisnis, dan investasi," jelas Moeldoko.
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Kaum Ibu Punya Peran Penting Tangani Stunting
- Trump Tunjuk Produser 'The Apprentice', Mark Burnett, sebagai Utusan Khusus untuk Inggris
- Presiden Prabowo Terbitkan Perpres 202/2024 tentang Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional
- 7 Obat Herbal Ini Ampuh Mengobati Nyeri Haid
- Wamen ESDM Pantau Kesiapan Pasokan Energi di SPBU Rest Area Batang