TPK dan Penyuluh KB Harus Saling Berdampingan Atasi 'Stunting'
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo
Foto: istimewaSURABAYA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan tim pendamping keluarga (TPK) dan penyuluh keluarga berencana (PKB) harus saling berdampingan dan melengkapi dalam upaya mengatasi stunting (kekerdilan) di Indonesia.
"Mereka (TPK dan PKB) saling melengkapi untuk mencegah stunting. Kalau anaknya terlalu dekat dan terlalu banyak juga bisa meningkatkan risiko stunting," katanya dalam Munas IV IPeKB Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (7/6).
BKKBN memiliki berbagai agenda prioritas, salah satunya percepatan penurunan stunting di Indonesia yang saat ini masih berada pada angka 21,6 persen atau di atas amanat World Health Organization (WHO) sebesar 20 persen.
"Upaya percepatan penurunan stunting tersebut dilakukan melalui pembentukan PKB dan TPK yang sebenarnya memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing," katanya.
Hasto menjelaskan PKB memiliki tugas utama yang berkaitan soal keluarga berencana, di antaranya melakukan sosialisasi mengenai penggunaan pil KB dan penggunaan IUD dalam rangka mencegah memiliki anak terlalu banyak.
Sementara TPK memiliki tugas untuk mengawal para calon pengantin sebelum mereka menikah, memberi ilmu kepada calon pengantin mengenai kesehatan organ intim hingga pengetahuan reproduksi.
Selain itu, TPK juga bertanggung jawab mengawal para ibu hamil dan ibu yang mempunyai anak usia di bawah dua tahun atau berumur nol sampai 24 bulan terutama mengenai ilmu tentang kebutuhan nutrisi maupun pengetahuan lain yang berkaitan dengan tumbuh dan kembang.
Bukan Fisik Saja
Kepala BKKBN menyatakan bahwa pemerintah perlu memperhatikan kesehatan mental setiap jiwa yang hidup di Indonesia, bila ingin mewujudkan penduduk berkualitas di masa depan.
Dalam audiensi bersama Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) di Kantor BKKBN Pusat pada Selasa (6/6), Hasto menyoroti jika peningkatan kualitas sumber daya manusia, tidak bisa hanya dipatokkan pada perbaikan kesehatan fisik saja.
Namun, juga perlu memperhatikan kestabilan mental generasi penerus, mengingat di tahun 2019, jumlah penderita gangguan mental emosional sudah mencapai 9,8 persen. Dalam data yang dimiliki BKKBN, tujuh dari 1.000 orang dinyatakan sebagai Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Sementara pengguna NAPZA sebanyak 5,1 persen dan penyandang difabel atau autisme 4,1 persen.
Terkait masalah stunting, ia mengaku optimistis jika angka prevalensi stunting yang kini masih 21,6 persen akan turun menjadi 14 persen. BKKBN terus melakukan pemutakhiran pendataan.
Berita Trending
- 1 Thailand Ingin Kereta Cepat ke Tiongkok Beroperasi pada 2030
- 2 Incar Kemenangan Penting, MU Butuh Konsistensi
- 3 Peneliti Korsel Temukan Fenomena Mekanika Kuantum
- 4 Menko Zulkifli Tegaskan Impor Singkong dan Tapioka Akan Dibatasi
- 5 Kepercayaan Masyarakat Dapat Turun, 8 Koperasi Bermasalah Timbulkan Kerugian Besar Rp26 Triliun