Zakiul Celios: Perppu Bisa Batalkan Kenaikan PPN
Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri menegaskan, saatnya Presiden menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan PPN 12% di UUHPP. Pemerintah harus berpihak pada masyarakat menengah bawah yang dihimpit berbagai kesulitan ekonomi
Foto: istimewaJAKARTA-Presiden Prabowo masih punya celah hukum untuk membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku awal tahun 2025. Hal itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan dampak negatif dari kebijakan ini.
Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios) Mhd Zakiul Fikri mengatakan, dari sisi hukum Presiden masih bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk menbatalkan kenaikan PPN. Ada contohnya ketika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu 1/2017 tentang Kepentingan Pajak.
"Saatnya Prabowo dengan menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan PPN 12% di UUHPP (Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) dan saatnya berpihak pada masyarakat menengah bawah yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi," tegas Zakiul Fikri yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu pada Koran Jakarta, Senin (30/12).
Setidaknya ada 3 alasan mengapa Perpu pembatalan kenaikan PPN 12% harus dikeluarkan; Pertama, norma kenaikan PPN menimbulkan masalah hukum yang mendesak untuk diselesaikan. Masalah hukum itu mulai dari inflasi atau naiknya harga barang jasa, merosotnya kemampuan konsumsi rumah tangga kelas menengah ke bawah, meningkatnya angka pengangguran, tertekannya UMKM, industri manufaktur dan potensi menambah jumlah rakyat miskin di Indonesia. Kedua, keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 tidak memadai karena tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum.
Ketiga, kondisi saat ini tidak mungkin diatasi dengan cara membuat atau merevisi undang-undang melalui prosedur biasa, mengingat memakan waktu yang cukup lama sementara keadaan telah mendesak. Keadaan mendesak sebab per 1 Januari 2025 perintah norma yang problematik dari Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 harus dilaksanakan. Sementara, DPR RI sedang berada pada masa reses dari 6 Desember 2024 sampai 15 Januari 2025 sehingga tidak mungkin persoalan tersebut dibicarakan bersama dalam waktu dekat.
Dengan demikian, senafas pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menerbitkan Perppu yang membatalkan berlakunya ketentuan kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
"Menerbitkan Perppu yang dimaksud merupakan wujud komitmen Pemerintah Negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,"tandas Fikri.
Dari sudut pandang ekonomi lanjutnya perlunya Perppu berkaca dari pengalaman tahun 2022, ketika pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10 menjadi 11 persen mengakibatkan inflasi melaju ke 3,47% (YoY). Pada Mei, Juni, dan Juli tahun yang sama inflasi kembali meningkat masing-masing sebesar 3,55%, 4,35%, dan 4,94% (YoY). "Inflasi itu telah menyebabkan merosotnya konsumsi rumah tangga, terutama bagi kelas menengah ke bawah,"tegasnya
Celios papar Zakiul Fikri telah mensimulasikan kenaikan kebutuhan masyarakat akibat kenaikan PPN, kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp 354.293 per bulan atau 4,2 juta rupiah per tahun dengan adanya kenaikan tarif PPN 12%. Sedangkan, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp 101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun. "Kian mencekik bagi masyarakat karena meningkatnya jumlah pengeluaran berbanding terbalik dengan peningkatan pemasukan dari gaji bulanan yang rata-rata hanya tumbuh 3,5% per tahun,"tandasnya
Bayangkan saja lanjut Zakiul Fikri, pada tahun 2023 rata-rata kenaikan gaji di Indonesia hanya 2,8% atau setara dengan Rp. 89.391 per bulan. Belum lagi ditambah dengan peningkatan jumlah pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang pada tahun 2023 menyentuh angka 11,7%. Per November 2024 saja telah terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) terhadap 64.751 orang.
Menurut dia, kondisi inilah yang mendorong berbagai kalangan masyarakat urun rembuk menyuarakan penolakan terhadap upaya kenaikan PPN dari 11% ke 12%. Banyaknya suara penolakan itu bukan tanpa alasan, sebab mayoritas penduduk Indonesia saat ini menurut kajian Celios merupakan penduduk dengan kelas ekonomi menengah ke bawah yang akan merasa dampak langsung dari kenaikan PPN tersebut.
Redaktur: Lili Lestari
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
Berita Terkini
- Potret Kembang Api Perayaan Tahun Baru 2025 di Berbagai Belahan Dunia
- Sesuai Kesepakatan, Pengelolaan BTS Diserahkan ke Pemprov Bali dan Yogyakarta
- Setop Impor Pangan Jangan Sekadar Gimik Politik. Harus Dijalankan!
- Diskon Listrik Januari Mulai Berlaku, Masyarakat Tak Perlu Buru-Buru, Beli Token Bisa Sepanjang Bulan
- Bulog Salurkan Hampir 4 Juta Ton Beras Sepanjang 2024