Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 06 Mar 2025, 01:35 WIB

Pemilu Serentak Diusulkan Dipisah Nasional dan Lokal, Ini Akan Memperkuat Sistem Presidensial

Rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).

Foto: ANTARA/Melalusa Susthira

JAKARTA - Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti merekomendasikan agar pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia dipisahkan menjadi pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

“Kami mempertimbangkan rekomendasi untuk mempertimbangkan solusi alternatif desain keserentakan pemilu dengan mengacu pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, yakni model keserentakan pemilu yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal,” kata Delia saat rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).

Dia menjelaskan pemisahan itu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 terkait desain pemilihan umum serentak di Indonesia. “Putusan MK Nomor 55 ini juga justru memberikan banyak varian yang itu tetap konstitusional, dan ini adalah salah satu varian yang berada di dalam putusan MK tersebut,” ujarnya.

Delia menjelaskan bahwa pemilu serentak nasional terdiri atas pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sedangkan pemilu serentak lokal terdiri atas pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Menurut Delia, pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari esensi penyelenggaraan pemilu secara serentak. “Ini juga untuk memperkuat sistem presidensial kita di tingkat nasional dan daerah,” katanya.

Pada awal rapat, Delia memaparkan bahwa keserentakan pada Pemilu 2024 membawa kekurangan bagi jalannya pelaksanaan pileg karena fokus utama lebih ditujukan pada pilpres. “Karena calon tidak hanya berkampanye untuk mereka sendiri, tetapi juga harus mengampanyekan calon presiden. Jadi, ketika bukan bagian dari partai yang berkuasa akan semakin sulit,” paparnya.

Di sisi lain, dia juga mengatakan bahwa pemilu serentak justru meningkatkan praktik pembelian suara (vote buying) dan politik uang (money politics).

“Money politics atau biaya politik di Indonesia sangat mahal, pemilu menjadi sangat barbar dan itu dirasakan bukan hanya oleh kami yang melihat, tetapi peserta pemilu justru turut merasakan bagaimana barbarnya, tingginya biaya politik untuk mencalonkan diri. Sebagai caleg kabupaten/kota saja misalnya, 5 miliar rupiah atau bahkan lebih,” ucap dia.

Simulasi Perubahan

Dalam kesempatan sama Puskapol UI jugai merekomendasikan sistem pemilu campuran sebagai opsi alternatif dalam melakukan simulasi perubahan sistem pemilu di Tanah Air.

Menurut Delia, selama ini diskursus yang berkembang di publik berkutat pada sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, padahal banyak varian sistem pemilihan lain di dalam literatur politik.

Dia pun menyebut sistem pemilu campuran di sejumlah negara yang sudah menerapkannya mampu mendongkrak angka keterwakilan perempuan secara signifikan, di antaranya Italia, Meksiko, Kosta Rika, dan Panama.

Sebaliknya, dia menilai sistem proporsional terbuka menjadi salah satu sistem pemilu yang kurang kuat dalam mendorong kesetaraan gender sebab perempuan harus bertarung secara bebas dalam sistem tersebut.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyoroti rumusan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perlu memberikan perhatian kepada masalah politik uang, selain persoalan teknis dalam perbaikan sistem kepemiluan di tanah air.

Redaktur: Sriyono

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.