Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 18 Mar 2025, 19:50 WIB

Pesona Sejarah Masjid Teungku Di Anjong, Warisan Ulama Aceh Abad ke-18

Foto: ANTARA

BANDA ACEH - Berdiri sejak abad ke-18, Masjid Teungku Di Anjong berdiri kokoh di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, meskipun sempat rusak parah diterjang Tsunami pada 2004 silam.

Keberadaan masjid ini tidak terlepas dari perjalanan Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih, seorang ulama dari Hadramaut, Yaman, yang tiba di Aceh pada tahun 1642 Masehi.

Habib Abubakar mengembara dari Yaman untuk menyiarkan agama Islam ke Asia Tenggara. Dia kemudian menetap di Aceh semasa Sultan Alaudin Mahmud Syah (1760-1781) memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.

Di Aceh, Habib Abubakar lebih dikenal dengan nama Teungku Di Anjong. Menurut salah seorang penjaga makam Teungku Di Anjong, Fahmi, gelar tersebut diberikan karena Habib Abubakar adalah seorang ulama yang memiliki akhlak mulia.

Dalam bahasa Aceh, Dianjong memiliki makna orang yang sangat dimuliakan dan disanjung oleh masyarakat. Versi lain menyebutkan Dianjong berarti anjungan rumah.

Fahmi, mengisahkan bahwa kedatangan Habib Abubakar ke Aceh terjadi atas isyarah (mimpi) diperintah Rasulullah untuk menyebarkan Islam.

“Kedatangan beliau ini ke Aceh merupakan perintah langsung dari Rasulullah yang disampaikan lewat isyarah,” katanya

Fahmi mengatakan, Teungku Di Anjong datang ke Aceh bersama dua sahabatnya, yakni Habib Abdul Rahman bin Mustafa Alaydrus dan Habib Syekh Al-Jufri, yang juga mendapat isyarah untuk mensyiarkan agama Islam ke berbagai negara.

Namun, hanya Habib Abubakar yang akhirnya menetap di Aceh, sedangkan Habib Mustafa bin Abdul Rahman Alaydrus menuju Mesir dan Habib Syekh Al-Jufri ke Malabar, India, untuk berdakwah.

“Ada pula yang menyebut jumlah mereka empat orang, namun satu di antaranya pulang ke Hadramaut. Jadi, yang makrufnya ada tiga sahabat yang mengamalkan kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali secara istiqamah, yang mereka pelajari di makam Rasulullah hingga memperoleh bimbingan langsung melalui mimpi, itu makruf cerita yang diceritakan ulama-ulama Hadramaut,” katanya.

1742299852_d5531dd40e851d892bd9.jpeg

Masyarakat melintas di halaman depan Masjid Teungku Di Anjong ketika peringatan haul ke-250 Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih. ANTARA/Nurul Hasanah.

Setelah memilih menetap di Aceh, Habib Abubakar bermukim di Peulanggahan, yang dulunya menjadi tempat persinggahan para pedagang yang melintasi Selat Malaka. Ia membangun rumah di Peulanggahan dan menjadikannya sebagai dayah atau pesantren.

Pada masa itu, dayah Teungku Di Anjong berkembang pesat, menarik murid-murid dari berbagai wilayah Nusantara hingga Semenanjung Malaya. Seiring waktu, dayah ini kemudian dijadikan masjid yang masih digunakan hingga kini sebagai tempat ibadah dan belajar agama.

“Pada tahun 80-an, dayah ini kemudian berubah menjadi bangunan masjid,” katanya.

Pusat Manasik Haji dan Basis Pertahanan Militer

Selain menjadi pusat pendidikan agama Islam, Masjid Teungku Di Anjong yang berdiri pada 1769 Masehi ini pernah berfungsi sebagai pusat manasik haji.

"Dahulu, calon jamaah haji dari berbagai daerah Nusantara dan Semenanjung Malaya singgah di sini untuk belajar tata cara pelaksanaan ibadah haji sebelum berangkat ke Makkah," kata Fahmi.

Fahmi menceritakan bahwa kapal-kapal pengangkut jamaah haji yang melewati Selat Malaka kerap transit di Aceh, dan para jamaah mengikuti manasik di dayah yang didirikan oleh Teungku Di Anjong. Manasik haji ini dipimpin langsung oleh Teungku Di Anjong. Hal inilah menjadi salah asal-muasal julukan Aceh sebagai "Serambi Makkah".

“Disela-sela dayah ini, itu dulunya ada beberapa balai untuk menampung para jamaah untuk manasik haji di bawah bimbingan beliau dan Syarifah Fatimah yang ada makamnya di sini, Syarifah Fatimah itu istri beliau,” kata Fahmi, yang telah 15 tahun menjaga dan merawat makam Teungku Dianjong.

1742299900_1b83c987d3963bfde615.jpeg

Makam Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih yang berada di Kompleks Masjid Teungku Di Anjong. (ANTARA/Nurul Hasanah)

Teungku Di Anjong kemudian wafat pada 14 Ramadhan 1100 Hijriah atau sekitar tahun 1782 Masehi, bertepatan dengan hari Jumat selepas shalat Isya. Dia dimakamkan di dalam kompleks masjid berdampingan dengan makam istrinya Syarifah Fatimah Binti Sayid Abdurrahman Al-Aidid yang juga berasal dari Hadramaut.

Setelah Teungku Di Anjong wafat, masjid ini sempat menjadi basis pertahanan militer saat Belanda berusaha merebut kekuasaan Kesultanan Aceh pada tahun 1873. Dayah yang dibangun oleh Teungku Di Anjong menjadi tempat mengatur strategi perang dan mengobarkan semangat jihad bersama para santri. Sayangnya, tentara Belanda berhasil membakar dayah ini, sehingga beberapa bagian bangunan harus direnovasi sambil tetap mempertahankan keasliannya.

Namun, masjid ini kembali mengalami kerusakan parah akibat bencana tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Bencana dahsyat itu meratakan bangunan masjid menjadi tanah. Tidak hanya itu, barang-barang peninggalan Teungku Dianjong seperti kitab-kitab karangannya, keramik, guci, dan banyak lainnya juga hilang terbawa arus gelombang laut setinggi 4,5 meter.

“Saat tsunami melanda Aceh, masjidnya hancur, yang tinggal cuma makam, makam tetap utuh masih dilengkapi kelambu,” katanya

Empat tahun kemudian, masjid yang awalnya berkonstruksi kayu ini kembali dibangun dengan bantuan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias. Struktur kayunya digantikan dengan beton agar lebih kokoh, tetapi arsitektur aslinya tetap dipertahankan dengan gaya tradisional Melayu-China. Masjid ini dibangun tanpa kubah dengan atap berbentuk persegi mengerucut menjadi tiga lantai, serupa dengan gaya banyak masjid kuno lainnya di Aceh.

Gaya bangunan ini diyakini sebagai simbol keagungan Islam. Lantai satu berarti Hakikat, lantai dua Tarikat, dan lantai tiga Makrifat. Bangunan dindingnya kemudian dicat berwarna putih berpadu dengan cat hijau pada bagian atap, pintu, dan jendela masjid dengan enam tiang menyangga teras depan masjid.

Tradisi Keagamaan

Masjid Teungku Di Anjong tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan keagamaan yang masih aktif hingga kini. Berbagai tradisi keagamaan rutin dilaksanakan di masjid bersejarah ini.

Fahmi, mengatakan bahwa salah satu kegiatan terbesar yang rutin digelar adalah peringatan haul, yakni peringatan tahunan untuk mengenang wafatnya Teungku Di Anjong. Haul ini diadakan dua kali dalam setahun, yaitu pada 14 Ramadhan dan Bulan Zulqaedah.

"Haul ini kami adakan dua kali, di 14 Ramadhan dan sekali lagi di bulan Zulqaedah. Peringatan di bulan Zulqaedah lebih besar karena kalau di bulan Ramadhan waktunya lebih sempit," kata Fahmi.

1742299900_f3a49a8ea835eca913b1.jpeg

Masyarakat Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, mengikuti hadrah pada peringatan haul ke-250 Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih. (ANTARA/Nurul Hasanah)

Dalam peringatan haul, biasanya mengundang ulama dari Timur Tengah untuk mengikuti hadrah, sebuah seni musik Islami yang memadukan dzikir, kasidah, serta irama rebana atau rapai.

Selain haul, kata Fahmi, berbagai kegiatan keagamaan lainnya juga masih terus dijalankan di Masjid Teungku Di Anjong hingga kini. Beberapa di antaranya adalah Hadrah Bausadan, yaitu pembacaan doa tolak bala yang rutin digelar setiap hari Selasa, pembacaan Dhiyaul Lami (syair-syair pujian kepada Rasulullah) pada malam Jumat, serta Qiyamul Lail yang dilaksanakan setiap malam Minggu.

Berbagai kegiatan keagamaan yang masif tersebut memperlihatkan bahwa Masjid Teungku Di Anjong bukan sekedar simbol sejarah, tetapi juga menjadi tempat menjaga tradisi keagamaan di Aceh.

Sementara itu di sisi lain, walaupun harus mengalami beberapa kali restorasi,  Masjid Teungku Di Anjong tetaplah menjadi salah satu saksi penting sejarah perjalanan Islam di Aceh, hingga kota ini menjadi "Serambi Makkah". Ant

Redaktur: -

Penulis: Deri Henriawan

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.