Menekan Oligarki, Sistem Pemilu dan Pembiayaan Kampanye Perlu Dibenahi
Penumpang menunggu kereta di depan iklan imbauan antipolitik uang yang ditayangkan di salah satu peron Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2023).
Kekuatan modal (uang) menjadi salah satu penentu dalam kemenangan calon, sehingga pemilu kerap hanya menjadi bussines driven politics yang membuat oligarki langgeng.
Arizka Warganegara, Universitas Lampung
Setelah lebih dari 25 tahun reformasi politik, Indonesia masih saja mengalami persoalan prinsipil dalam berdemokrasi. Proses elektoral, baik pada level nasional maupun lokal, masih lekat dengan kontroversi politik uang, pragmatisme elit, kelemahan institutionalisasi partai politik. Ini membuat kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu dipertanyakan.
Terlebih lagi, laporan yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 menyebutkan bahwa Indonesia masih masuk dalam kategori flawed democracy dengan nilai 6,71. Kategori ini merefleksikan demokrasi yang masih bermasalah dalam beragam aspek, mulai dari soal kebebasan sipil, fungsi pemerintah sampai proses elektoral.
Riset menunjukkan kerap terjadinya kecenderungan democracy backsliding (kemunduran demokrasi) yang berdampak pada melemahnya integritas proses elektoral. Beberapa faktor penyebab kemunduran demokrasi tersebut antara lain pertumbuhan digital politik, populisme, transformasi ekonomi masyarakat hingga dampak pandemi.
Dalam konteks Indonesia, integritas elektoral menjadi isu publik yang belum terselesaikan. Aktivitas yang merusak integritas dan hasil pemilu (electoral abuse activities), sebagai contoh ketidaknetralan penyelenggara pemilu di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan yang kemudian membuat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada salah satu anggotanya.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya