Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 20 Mar 2025, 11:33 WIB

Warga Bantargebang Minta Uang Bau Naik, Lingkungan TPST Dipulihkan

TPST Bantargebang

Foto: Koran Jakarta/KPNas

Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)

TPST Bantargebang merupakan pembuangan sampah terbesar di Indonesia dan Asean yang dioperasikan sejak 1989-an memendam persoalan besar. Timbulan sampah mencapai 55 juta ton dan bertambah 7.500 sampai 8.000 ton per hari. Sangat besar dan sulit ditangani.

Berapa besar timbulan sampah yang mampu diolah setiap harinya? TPST Bantargebang memang memiliki beberapa plant pengolahan sampah, seperti insinerator /PLTSa Merah Putih, RDF, dan penangkapan gas-gas sampah (power house).

Berdasar perkiraan sekitar 15-20 persen sampah yang mampu diolah tiap hari. Artinya, 80-85 persen sampah masih dibuang di zona aktif. Teknologi pengolahan sampah yang ada tidak mampu menangani sampah secara signifikan.

Akibatnya, hampir tiap hari truk-truk sampah antre di jalan-jalan operasional TPST. Apalagi saat musim hujan, sebagian besar truk sampah mengucurkan air lindi di sepanjang jalan. Jalan menjadi lincin dan bau.

Leachate dari gunung-gunung sampah dan truk-truk tersebut mengalir ke jalan, saluran air dan kali Ciketing. Sementara IPAS yang ada tidak mampu mengolah air lindi. Dampaknya pencemaran lingkungan semakin besar dan massif. Juga, kesehatan masyarakat sedang dipertaruhkan. Jika di-rontgen anak-anak kecil terkena penyakit flek, kata penduduk lokal.

Pencemaran lingkungan itu perlahan memberi dampak buruk yang semakin nyata dan kuat, mengakibatkan penyakit, kematian dan jatuh korban. Pencemaran sifatnya akumulatif, dan jadi bom waktu pada suatu hari nanti, tragedi kemanusiaan dan lingkungan. Gunung-gunung sampah suatu saat akan longsor dan leachate-nya mengalir ke kali.

Sementara itu, gunung-gunung sampah di TPST sudah jarang di-cover soil. Apakah tidak ada anggaran untuk cover-soil? Lima atau tujuh tahun ke belakang, tumpuk-tumpukan sampah ditata rapi dan di-cover soil (tanah merah). Gunung-gunung sampah tampak rapi, dan gas-gas sampah ditangkap dan disalurkan ke turbin-turbin power house. Sekarang, kondisinya lebih buruk, tampaknya tidak ada atau jarang ada cover-soil. Model semi-open dumping?!

Warga sekitar resah dan was-was terhadap masa depan lingkungan hidup di TPST Bantargebang dan sekitar. Mereka mempertanyakan, bisa tidak DKI mengolah sampah di Bantargebang? Sepertinya, sudah kewalahan?!

Warga Minta Uang Bau Naik

Warga sekitar dengan hiruk pikuknya sudah menerima keberadaan TPST dan berbagai proyek yang nilainya ratusan miliar hingga trilunan rupiah dikucurkan ke sini. TPST Bantargebang satu-satunya solusi terbesar penampung sampah DKI Jakarta. Semestinya, DKI memperhatikan masa depan lingkungan dan kesehatan warga sekitar TPST Bantargebang.

Hak-hak warga sekitar sudah dilindungi UUD 1945 Pasal 28 H, UU No. 37/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sampah, UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan peraturan perundangan terkait. Bahwa, warga/masyarakat mempunyak hak-hak hidup di lingkungan yang sehat dan baik serta berkelanjutan. Warga yang tercemar atau menjadi korban adanya tempat pengolahan akhir sampah harus mendapatkan kompensasi.

Warga di wilayah Kecamatan Bantargebang, terutama Kelurahan Sumurbatu, Ciketingudik dan Cikiwul meminta agar uang bau dinaikkan, karena berbagai harga kebutuhan pokok sehari-hari telah naik. Saat ini warga mendapat uang bau sebesar Rp 400.000/KK/bulan. Uang tersebut diterima tiga bulan sekali, totalnya Rp 1.200.000 melalui Bank BJB.

Permintaan agar uang bau naik dua tahun lalu ditolak atau tidak diakomodasi, Pemprov DKI beralasan karena pandemi Covid-19. Saat ini waktunya sudah berbeda dan kondisi sudah normal, dengan harga-harga kebutuhan pokok terus naik. APBD DKI cukup besar dan mampu memenuhi permintaan warga sekitar TPST Bantargebang.

Uang bau yang diterima terkuras untuk beli air minum dan kebutuhan lain. Karena warga tidak berani minum air tanah dari sumurnya sendiri. Jika setiap keluarga kecil membutuhkan 2 galon air mineral untuk konsumsi minum, maka sebulan harus mengeluarkan uang = 8 galon x Rp 20.000 = Rp 160.000. Jika keluarga besar bisa menghabiskan 4 galon per minggu, maka uang yang dikeluarkan = 16 galon x Rp 20.000 = Rp 320.000.

Uang untuk kebutuhan setiap check kesehatan atau berobat ke dokter, klinik kesehatan kisaran Rp 150.000 – Rp 200.000. Sebab tidak semua warga mau berobat ke Puskesmas terdekat, meskipun gratis. Warga sekitar TPST Bantargebang riskan terserang berbagai penyakit, seperti ISPA (inspeksi saluran pernafasan atas akibat udara kotor), radang paru-paru, batuk-batuk, alergi kulit, gata-gatal, disentri, karies gigi, lambung, dll.

Sekarang (2025) warga minta kenaikan uang bau menjadi Rp 800.000 – 900.000/KK/bulan. Uang bau tersebut dianggap layak. Warga sudah beberapa tahun lalu minta agar uang bau dinaikan. Kenaikan uang bau Rp 800.000 – 900.000 tersebut bagian dari dana kompensasi dari DKI Jakarta yang diserahkan ke Pemerintah Kota Bekasi karena pemanfaatan TPST Bantargebang.

Warga Bantargebang minta diprioritaskan dengan adanya dana kompensasi sampah DKI. Uang bau yang menerima per KK/bulan saat ini, artinya hanya satu orang dan jumlahnya relatif kecil, mungkin diantara Rp 80-85 miliar pertahun dari total lebih dari Rp 350 miliar per tahun. Mestinya setiap orang yang menerima uang bau, karena yang terkena dampak pencemaran udara, air dan tanah adalah semuanya. Hal ini harus diperjuangkan dengan serius.

Jika pada tahun 2025 ada perubahan addendum perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemkot Bekasi tentang Pemanfaatan TPST Bantargebang, maka kenaikan uang bau harus dimasukkan dalam klausul PKS tersebut.

Belakangan sudah dilakukan perubahan PKS. Tahun 2016 Addendum PKS No. 25 dan 444 Tahun 2016, terkait: Pertama, Jangka waktu PKS menjadi 5 tahun, dievaluasi setiap 1 tahun. Kedua, Lingkup kompensasi: Penanggulangan Kerusakan Lingkungan, Pemulihan Lingkungan, Biaya Kesehatan dan Pengobatan, serta BLT. Ketiga, Rumus kompensasi: Jumlah sampah (ton/hari) x 365 hari x biaya retribusi (Rp 25.000/M3) x konversi M3 ke ton (4,5 ton/M3) x 50%.

Tahun 2017, Addendum PKS No. 4 dan 224 Tahun 2017, terkait: Pertama, Perubahan nomenklatur lingkup kompensasi. Kedua, Biaya Kesehatan dan Pengobatan menjadi Layanan kesehatan berupa pembangunan infrastruktur, pengadaan alat kesehatan, pengadaan obat-obatan, biaya kesehatan dan pengobatan.

Tahun 2018, Addendum PKS No. 26 dan 1216 Tahun 2018, terkait: Pertama, Penambahan lingkup kompensasi: Peningkatan Pelayanan Pendidikan. Kedua, Rumus kompensasi: Jumlah sampah (ton/hari) x 365 hari x biaya retribusi (Rp 25.000/M3) x konversi M3 ke ton (4,5 ton/M3) x 120%.

Adendum terakhir pada tahun 2021, PKS No. 19 dan 160 Tahun 2021 tanggal 25 Oktober 2021. PKS ini terkait penambahan lingkup kompensasi serta Jangka waktu PKS selama 5 tahun dan dievaluasi setiap 2 tahun.

Menurut Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta (Desember 2024), dana kompensasi sampah dari DKI yang diterima Pemkot Bekasi terus meningkat setiap tahun. Dengan rincian sebagai berikut: pada 2017 sebesar Rp 134.416.992.000; tahun 2018 sebesar Rp 138.549.833.000; tahun 2019 sebesar 353.664.960.000; tahun 2020 sebesar Rp 367.226.865.000; tahun 2021 sebesar Rp 379.519.499.250; tahun 2022 sebesar Rp 365.838.788.250; dan tahun 2023 sebesar Rp 356.446.480.500. Penerimaan dana kompensari dari tahun 2017 sampai 2023 jumlah totalnya mencapai Rp 2.095.663.418.000.

Pada tahun 2024 dana kompensasi yang diterima sebesar Rp 371.773.962.000. Perhitungan Dana kompensasi untuk TA 2024 (Jumlah ton sampah thn 2022: 7.544,88 ton/hari) x (365 hari) x (Rp 25.000/M3) x (4.5 M3 /ton) x 120% = Rp 371.773.962.000.

Tampaknya pada tahun 2025 akan ada addendum baru, sehingga membutuhkan masukan-masukan dari warga sekitar dan para aktivis lingkungan dan persampahan. Kenaikan uang bau untuk warga sekitar harus diakomodasi, perbaikan dan pemulihan lingkungan seperti penambahan dan peningkatan IPAS, konservasi air permukaan (Kali Ciketing dan Kali Asem) dan dalam, konservasi tanah, pengoperasian IPAS Bersama/Induk secara maksimal, meningkatkan jumlah dan kapasitas sumur pantau, peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, dukungan aktivitas pemilahan sampah atau 3R (reduce, reuse, recycle), membuat green-belt, menambah RTH dan penghijauan, penataan perkampungan kumuh, dll.

Redaktur: Lili Lestari

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.