Tukar Utang dengan Pensiunkan PLTU guna Mengurangi Beban Fiskal 2025
PLTU Batu Bara
Foto: antaraJAKARTA– Pemerintah harus kreatif mendesain kebijakan fiskal pada 2025 mendatang. Hal itu karena besarnya utang yang jatuh tempo sehingga mengurangi fleksibilitas ruang fiskal dalam membiayai program-program prioritas.
Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam policy brief berjudul “Pertukaran Utang dengan Pemensiunan PLTU batu bara: Manuver Fiskal dalam Mendukung Ambisi Transisi Energi” menyebutkan bahwa Indonesia bisa menyiasati kondisi tersebut dengan melakukan penukaran utang atau debt swap sebesar 94,8 triliun rupiah untuk mendanai pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis batubara.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengusulkan agar skenario debt swap ditempuh guna memberi kesempatan negara maju membayar utang iklimnya kepada negara berkembang seperti Indonesia.
Debt swap, jelasnya, bisa menjadi alternatif pembiayaan pensiun dini PLTU batu bara, mengingat kebutuhan investasi aksi transisi energi tersebut diestimasi menembus 444 triliun rupiah sampai 2055.
Apalagi negara maju telah menyepakati New Collective Quantified Goals (NCQG) atau komitmen pembiayaan iklim sebesar 300 miliar dollar AS untuk mendukung negara berkembang beradaptasi menghadapi krisis iklim.
Indonesia, papar Bhima, mempunyai utang 94,8 triliun rupiah dalam bentuk pinjaman ke negara maju dan lembaga multilateral yang akan jatuh tempo pada 2025.
“Menteri Keuangan dan Menteri ESDM bisa membuka ruang negosiasi utang untuk ditukar menjadi dana pensiun PLTU batubara. Negara maju juga diuntungkan karena konsisten menjalankan skema NCQG membayar utang iklimnya,” kata Bhima.
Peneliti Ekonomi Celios, Bakhrul Fikri, mengatakan bahwa pembentukan tim khusus untuk membuka negosiasi debt swap dengan negara maju G7 baik dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) maupun skema bilateral harus segera dimulai.
Mitigasi Perubahan Iklim
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, dalam kesempatan terpisah mengatakan jika pemerintah menempuh langkah itu, maka akan menguntungkan karena mengurangi beban fiskal, terutama tekanan pembayaran utang yang jatuh tempo. Dengan demikian, ruang fiskal untuk belanja publik lain lebih optimal.
Langkah itu, jelas Badiul, dapat mendukung target capaian energi terbarukan, 66 persen pada 2050 sebagaimana Peraturan Presiden (Perpres) No 112/2022.Kebijakan itu juga meningkatkan citra Indonesia sebagai pemimpin global dalam mitigasi perubahan iklim, sekaligus mendorong negara maju bertanggung jawab terhadap emisi karbon global.
Indonesia pun akan bergantung pada proses negosiasi yang membutuhkan kesedian negara maju dalam menukar utang. Praktik seperti itu, katanya, pernah dilakukan pada era Presiden Gus Dur dengan utang untuk perbaikan sektor kehutanan.
“Kebijakan ini juga membutuhkan, peta jalan transisi energi dan mitagi dampak sosial-ekonomi untuk pensiunkan PLTU,” katanya.
Selain itu, kredibilitas penggunaan anggaran harus sesuai dengan komitmen. Kemudian, perlu diperhatikan juga kebijakan tersebut bisa berdampak pada peningkatan reputasi negara-negara maju yang terlibat dalam Non Carbon Quota Guarantee (NCQG), yang memiliki tanggungjawab historis atas emisi karbon.
Pemerintah harus segera membentuk tim atau Gugus Tugas yang melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk merancang negosiasi komprehensif dan menyelaraskan dengan agenda transisi energi.
“Kebijakan ini harus dimbangi dengan investasi di sektor energi terbarukan guna mengantisipasi hilangnya listrik karena penutupan PLTU, terlebih negosiasi ini angkanya tidak sedikit yaitu 94.8 triliun rupiah, sehingga harus dikelola serius dan penuh kehati-hatian,”pungkas Badiul.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan ide debt swap meski potensinya besar, namun ada beberapa tantangan dalam pelaksanaannya, terutama kesiapan roadmap dari PLN dan Kementerian ESDM.
Aditya menegaskan pentingnya peta jalan yang jelas, termasuk daftar prioritas PLTU yang akan dipensiunkan dan analisis dampak dari langkah tersebut.
“Tanpa kejelasan ini, negosiasi dengan negara maju, baik melalui skema bilateral maupun Just Energy Transition Partnership (JETP), akan sulit direalisasikan,” katanya.
Tantangan lainnya adalah kepastian komitmen dari negara maju. Aditya mengingatkan bahwa pelaksanaan skema NCQG sering kali menghadapi keterlambatan, sehingga Indonesia perlu memastikan komitmen itu berjalan sesuai jadwal melalui diplomasi yang lebih intensif.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kurangi Beban Pencemaran Lingkungan, Minyak Jelantah Bisa Disulap Jadi Energi Alternatif
- 2 Keren Terobosan Ini, Sosialisasi Bahaya Judi “Online” lewat Festival Film Pendek
- 3 Laga Krusial PSG Kontra Manchester City
- 4 Pertamina JBT Jamin Pasokan BBM Aman di Tengah Bencana Alam di Jawa Tengah
- 5 Terus Dikebut Pembangunannya, Pembiayaan IKN Skema KPBU Capai Rp60,93 Triliun
Berita Terkini
- Ini yang Dilakukan BPOM untuk Kuatkan Mitigasi Epidemi Global
- Cegah Jatuh Korban, Warga Diimbau untuk Mewaspadai Erupsi Gunung Lewotobi
- Pegawai BRI yang "Merampok" Uang Nasabah Ini Divonis 6 Tahun Penjara
- Gawat, Gunung Es yang Hanyut Bahayakan Pulau Georgia Selatan dan Satwa Liar
- Banyak Warga yang Menunggu Ini, Pasar Imlek Semawis Digelar untuk Sambut Perayaan Imlek di Semarang