Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Larangan Ekspor I Sudah Lama Negara Kehilangan Taring di Depan Para Konglomerat

Presiden Beri Sinyal ke Mafia Minyak Goreng agar Tidak Mempermainkan Rakyat

Foto : Sumber: GAPKI - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Keputusan tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan lalu yang melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mendapat sambutan hangat dari sejumlah kalangan. Mereka menilai kebijakan tersebut sebagai momentum pemerintah sebagai supremasi kekuasaan tertinggi negara menunjukkan kapabilitasnya untuk mengatur negara termasuk tata niaga komoditas tertentu.

Sambutan hangat itu datang dari politisi seperti Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, dan Politisi Partai Golkar Nusron Wahid, serta Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Halim.

Menurut Rizal, keputusan menghentikan sementara ekspor minyak goreng dan bahan bakunya mulai 28 April 2022 itu diharapkan bisa membuat stok melimpah sehingga harga kembali normal.

"Keputusan Presiden sangat dinantikan sebagian besar masyarakat Indonesia yang dalam 5-6 bulan ini menghadapi harga minyak goreng yang tak terkendali," kata Rizal di Jakarta, Minggu (24/4).

Larangan ekspor juga merupakan sinyal ke pasar untuk tidak bermain-main atau memanfaatkan kesempatan dan mengorbankan kebanyakan rakyat. Dia pun berharap pemerintah mengawasi ketat produksi dan distribusi agar tidak terjadi kebocoran termasuk penyelundupan.

Selain minyak goreng, dia berharap pemerintah juga perlu mengintervensi perdagangan komoditas lain, seperti daging sapi, cabai, telur ayam, yang saat ini harganya bergerak naik.

"BPKN meminta Satgas Pangan untuk segera melakukan penyelidikan dan penegakan hukum jika hal ini didapatkan bukti di lapangan. Negara tidak boleh kalah dari para mafia. Negara harus bisa mewujudkan kedaulatan pangan sesuai cita-cita Presiden Jokowi," kata Rizal.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan sudah lama negara ini seperti kehilangan taring di depan konglomerat dan koruptor. "Dalam kasus minyak goreng, sikap Presiden Jokowi sudah jelas bahwa semua harus mengutamakan kepentingan rakyat dengan mengambil keputusan tegas setop ekspor CPO," kata Maruf.

Langkah tegas pemerintah itu, katanya, merupakan peringatan bagi semua pelaku usaha sektor pangan yang kerap mempermainkan stabilitas pasar di dalam negeri. Pelarangan ekspor menunjukkan pemerintah tidak kalah dengan mafia pangan.

Dihubungi terpisah, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan larangan ekspor akan menjadikan harganya terkendali dan terjangkau oleh masyarakat luas.

Awan mengatakan efek jera mestinya dibarengi dengan sanksi hukum yang berat sesuai dengan aturan yang berlaku. Bagi para pemburu rente di balik kesusahan masyarakat banyak harus ditindak. "Ini peringatakan untuk semua pemburu rente impor pangan," tegas Awan.

Kinerja Konkret

Terkait larangan ekspor itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan langkah tegas Presiden sudah sangat tepat untuk merespons kondisi pasar minyak goreng dalam negeri yang tidak kunjung terselesaikan.

"Semoga komitmen Presiden ini dibarengi dengan kinerja yang konkret dari para pembantunya dan tidak ada yang coba melunakkan komitmen Presiden tersebut," kata Badiul.

Kalau pengusaha bandel seperti di kasus minyak goreng itu, pemerintah bisa mencabut perizinannya, terutama perkebunan sawitnya. Apalagi secara prinsip yang dipakai adalah tanah negara. Tindakan tegas, katanya, bukan hanya untuk pengusaha sawit, tetapi bagi semua mafia sektor pangan lainnya yang gemar mengimpor komoditas tertentu yang diproduksi dalam negeri.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, mengapresiasi langkah Presiden itu dan pihaknya sudah memantau sejak kemarin di beberapa lokasi. Ada beberapa penurunan harga 400 rupiah per kilogram (kg) di Sekadau, Kalimantan Barat, dan di Jambi sekitar 500 rupiah per kg.

"Solusi untuk masalah ini adalah harus ada pencatatan di pabrik soal nama-nama petani yang supply buah masuk pabrik. Sebab ini akan menguntungkan pabrik perusahaan karena ketika ada situasi normal, mereka akan menjual CPO dengan harga normal, tetapi mereka membeli buah sawit dari petani dengan harga murah," kata Mansuetus.

Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, mengatakan jika pengusaha menjual minyak goreng di dalam negeri, mereka sudah untung karena menerima dana subsidi.

"Kalau mereka menjual minyak goreng ke luar negeri, mereka pengusaha mendapat untung dua kali, yakni menerima dana subsidi dan menerima keuntungan ekspor yang tinggi," katanya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top