Potret Kelemahan Sistemik Indonesia: Dari Dwifungsi TNI hingga Kekalahan Timnas
- Dwifungsi TNI
Oleh: Chappy Hakim

Ket. Chappy Hakim - Pusat Studi Air Power Indonesia
Doc: istimewa
Belakangan ini, dua isu besar menjadi sorotan publik di Indonesia: kegaduhan seputar revisi Undang-Undang TNI serta kekalahan telak Tim Nasional Sepak Bola Indonesia oleh Australia di ajang internasional. Meski berada pada dua ranah berbeda politik dan olahraga kedua isu ini memiliki akar persoalan yang serupa. ketiadaan perencanaan jangka panjang yang matang, lemahnya kepemimpinan, buruknya manajemen, dan budaya potong kompas yang telah mengakar kuat.
Dwifungsi TNI: Ancaman bagi Demokrasi.Revisi UU TNI yang sedang dibahas oleh parlemen membuka ruang bagi TNI untuk kembali terlibat aktif dalam ranah sipil. Narasi yang digaungkan adalah demi memperkuat ketahanan nasional dan peran strategis TNI dalam pembangunan. Namun, publik melihat ini sebagai langkah mundur ke masa Orde Baru, ketika militer tidak hanya bertugas menjaga keamanan negara, tetapi juga ikut campur dalam urusan politik, ekonomi, dan birokrasi.Kecenderungan fenomena pengaktifan kembali dwifungsi TNI menunjukkan betapa rapuhnya fondasi demokrasi di Indonesia. Alih-alih memperkuat institusi sipil dan membangun sistem pemerintahan yang profesional, negara justru terjebak dalam logika instan: ketika sipil dinilai gagal, militer dijadikan solusi. Ini mencerminkan kegagalan dalam membangun kepemimpinan sipil yang kuat, serta absennya strategi jangka panjang dalam tata kelola pemerintahan nasional.
Di sinilah kelemahan khas Indonesia tampak nyata: tidak adanya cetak biru pembangunan nasional yang dirancang dengan visi jauh ke depan. Setiap rezim berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Tanpa kesinambungan visi dan misi, pembangunan menjadi tambal sulam, dan keputusan strategis seperti revisi UU TNI pun tidak lagi berpijak pada prinsip demokrasi dan hak asasi, melainkan pada kepentingan jangka pendek dan kekuasaan semata. Para elite sudah terjebak masuk dalam perangkap pola pikir 5 tahunan alias putaran pilkada dan pilpres untuk sekadar memburu keuntungan materi belaka bagi kelompok masing masing.
Timnas dan Dunia Olahraga: Cerminan Sistem yang Gagal.Kekalahan telak Timnas Indonesia dari Australia di ajang kualifikasi Piala Dunia baru-baru ini juga menjadi refleksi mendalam dari kegagalan sistemik yang sama. Banyak yang menyalahkan kualitas pemain, pelatih asing yang kurang memahami karakter sepak bola Indonesia, atau federasi yang tidak solid. Namun, akar permasalahannya lebih dalam dari itu.Sepak bola, seperti halnya sektor lain di Indonesia, tidak dibangun berdasarkan sistem dan visi jangka panjang. Banyak akademi sepak bola berdiri, tapi tidak terintegrasi dengan sistem pembinaan nasional. Kompetisi lokal tidak konsisten, infrastruktur minim, dan kepemimpinan di tingkat federasi sering kali bermasalah karena intervensi politik dan kepentingan pribadi.Mereka lupa bahwa olahraga adalah bagian dari pembangunan karakter generasi muda bangsa, bukan semata mengejar Juara Dunia.Upaya meraih prestasi secara instan, misalnya dengan naturalisasi pemain asing atau mengganti pelatih secara cepat tanpa membenahi ekosistem sepak bola secara menyeluruh, adalah bentuk lain dari budaya “potong kompas”. Budaya ini telah merasuki banyak aspek kehidupan di negeri ini, dari birokrasi hingga olahraga. Semua ingin sukses cepat, tanpa melewati proses yang seharusnya.Sekali lagi, pembinaan olahraga tidak semata-mata bertujuan mencari gelar juara. Olahraga adalah bagian utuh dari proses pembangunan SDM dalam turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa
Ketiadaan Perencanaan Jangka Panjang.Baik dalam kasus revisi UU TNI maupun kekalahan Timnas terlihat bahwa Indonesia masih belum mampu merumuskan dan mengeksekusi perencanaan jangka panjang yang konsisten. Padahal, negara-negara maju dan bahkan beberapa negara tetangga seperti Vietnam, Jepang, dan Korea Selatan, membangun keberhasilan mereka dengan menyusun visi jangka panjang yang dikerjakan lintas generasi dan pemerintahan.Di Indonesia, setiap pergantian presiden atau pejabat tinggi sering diikuti perubahan kebijakan total. Tidak ada kesinambungan antara satu kepemimpinan dengan yang lain. Ini menandakan tidak adanya national roadmap yang menjadi panduan tetap, terlepas dari siapa yang memimpin. Hasilnya adalah kebijakan yang tidak tuntas, pembangunan yang terputus, dan program-program yang tidak memberikan dampak berkelanjutan.
Perencanaan jangka panjang membutuhkan data, riset, dan kapasitas intelektual yang tinggi. Tapi sayangnya, banyak keputusan strategis diambil tanpa dasar ilmiah yang kuat. Kebijakan diambil berdasarkan intuisi elite, tekanan politik, atau bahkan sekadar pencitraan media. Tidak heran bila banyak program gagal memberikan hasil nyata, bahkan menimbulkan masalah baru. Indonesia tidak memiliki sistem pendidikan dan latihan yang terpadu berlandas pada proses penelitian dan pengembangan berlandas keilmuan.
Lemahnya Kepemimpinan dan Manajemen Profesional. Kepemimpinan di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun sektor-sektor seperti olahraga, pendidikan, atau militer, sering kali tidak berbasis kompetensi dan integritas. Banyak pemimpin dipilih bukan karena kapasitasnya, tetapi karena kedekatan politik, popularitas, atau kepentingan kelompok tertentu.Kepemimpinan yang lemah akan menghasilkan manajemen yang buruk. Tanpa manajemen profesional yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi, maka sumber daya yang ada pun tidak akan termanfaatkan optimal. Dalam konteks militer, ketidakjelasan peran dan batasan TNI justru membuka peluang penyalahgunaan wewenang. Di bidang olahraga, manajemen federasi yang amburadul membuat talenta muda Indonesia tidak bisa berkembang maksimal.
Budaya Potong Kompas dan Korupsi: Musuh Utama Kemajuan. Salah satu penyakit kronis bangsa ini adalah budaya “potong kompas”. Dalam birokrasi, potong kompas berarti naik jabatan tanpa prestasi. Dalam politik, berarti berkuasa tanpa visi. Dalam olahraga, berarti ingin menang tanpa membangun fondasi. Semua ingin cepat berhasil, tapi enggan berproses.Budaya potong kompas ini sering kali dibarengi dengan praktik korupsi yang sistemik. Alih-alih memperkuat institusi, korupsi merusak tata kelola dan membuat kebijakan selalu diarahkan pada kepentingan segelintir elite.
Anda mungkin tertarik:
Jalan Keluar: Membangun Visi Bersama dan Sistem yang Kuat
Untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia perlu membangun konsensus nasional tentang arah dan visi jangka panjang negara. Visi ini harus dituangkan dalam rencana induk pembangunan nasional yang mengikat seluruh elemen bangsa terlepas dari siapa yang berkuasa. Pendidikan karakter dan nilai-nilai integritas harus diperkuat sejak dini agar generasi masa depan bebas dari budaya instan dan korup. Selain itu, sistem kepemimpinan dan manajemen publik harus berbasis pada meritokrasi. Orang-orang terbaik, bukan yang paling dekat dengan kekuasaan. Sektor-sektor strategis seperti pertahanan, olahraga, pendidikan, dan ekonomi harus dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel.
Demikianlah, Gaduhnya wacana dwifungsi TNI dan kekalahan memalukan Timnas Indonesia adalah cermin dari krisis sistemik yang lebih dalam. Tanpa perencanaan jangka panjang, tanpa kepemimpinan visioner, dan tanpa sistem yang bersih dari budaya potong kompas, Indonesia akan terus berjalan di tempat atau bahkan mundur. Saatnya bangsa ini becermin dan membangun kembali fondasi-fondasi penting yang selama ini diabaikan, demi masa depan yang benar-benar lebih baik.
Jakarta 21 Maret 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia