
IYCTC: Rokok persulit upaya mencapai kesetaraan gender
Sejumlah warga menyuarakan aspirasi antirokok.
Foto: ANTARA/HO - IYCTCJakarta, 10/3 - Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyebutkan perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak oleh industri rokok, baik sebagai perokok pasif, pekerja di sektor tembakau, maupun sebagai target pemasaran, serta menghambat inisiatif pencapaian kesetaraan gender.
Program Manager IYCTC Ni Made Shellasih menyebutkan perempuan sering kali tidak menyadari besarnya bahaya yang mereka hadapi akibat rokok.
"Data pun menunjukkan bahwa angka kematian perokok pasif mencapai 1,2 juta dari 8 juta kematian," kata Shella dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Satu dari dua laki-laki di Indonesia merupakan perokok aktif artinya masih banyak perokok pasif, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia, yang terpapar asap rokok dan menghadapi risiko kesehatan serius akibat kebiasaan merokok orang lain.
Selain itu, dia menambahkan, perempuan sering dijadikan bagian dari strategi pemasaran industri rokok, baik melalui peran Sales Promotion Girl (SPG) dalam promosi maupun lewat iklan yang mengaitkan merokok dengan kebebasan atau pemberdayaan perempuan.
“Narasi ini menyesatkan, karena pada kenyataannya, perempuan justru menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar akibat rokok, sementara kondisi kerja di lapangan juga bisa menempatkan mereka dalam situasi yang tidak nyaman atau rentan bahkan tak jarang mengalami pelecehan seksual,” ujar Shella.
Menurutnya, menjadikan perempuan sebagai promotor serta target pemasaran produk rokok tidak menggambarkan bentuk kebebasan ataupun mempercepat aksi kesetaraan gender, melainkan objektifikasi perempuan sebagai agen pemasaran.
“Industri rokok memanipulasi pesannya yang ingin membebaskan pilihan perempuan dengan berbagai akun front groups yang mereka dorong hingga pilihan rasa mild atau perisa di rokok konvensional/elektronik. Ini menunjukkan perempuan masih tidak lebih dari sekadar objek bagi industri rokok,” Shella menuturkan.
Selain itu, katanya, perempuan tidak hanya menghadapi risiko kesehatan, tetapi juga beban ekonomi yang semakin berat akibat rokok. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengeluaran untuk rokok adalah peringkat kedua setelah beras pada masyarakat ekonomi kecil,” lanjutnya.
Studi dari PKJS-UI pun menunjukkan bahwa terdapat pergeseran prioritas pembelian rokok pada rumah tangga dibandingkan kebutuhan pokok. Shella menilai bahwa hal ini akan membebani perempuan, sekaligus mengurangi hak mereka untuk hidup layak dan memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan bergizi, pendidikan anak, dan akses kesehatan.
Pada sektor tenaga kerja, dia menuturkan, perempuan yang bekerja di industri rokok juga sering kali mengalami kondisi kerja yang tidak layak dengan upah rendah, tanpa perlindungan kesehatan yang memadai hingga risiko kekerasan seksual.
Permasalahan ini juga diperparah oleh anggapan bahwa perempuan tidak kompeten dalam mengambil sebuah keputusan, sehingga penempatannya seringkali tidak masuk dalam posisi yang strategis.
"Masih dalam momentum Hari Perempuan Internasional, peringatan ini bukan sekadar selebrasi, tetapi juga momentum untuk merefleksikan sejauh mana hak-hak perempuan benar-benar dilindungi dan dipenuhi," katanya.
Berita Trending
- 1 Ini Tujuh Remaja yang Diamankan Polisi, Diduga Terlibat Tawuran di Jakpus
- 2 Penerbitan Surat Edaran THR Ditunda
- 3 Perluas Jangkauan, Manulife Indonesia Resmikan Kantor Pemasaran Mandiri di PIK
- 4 Regulasi Jaminan Sosial Dirombak, Ini Aturan Baru dari Menaker
- 5 Peran TPAKD Sangat Penting, Solusi Inklusi Keuangan yang Merata di Daerah