Akankah Prabowo Membawa Kebijakan Luar Negeri Indonesia Jadi Lebih Asertif?
Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan saat sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (23/10/2024).
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak AAniello Iannone, Universitas Diponegoro
Dimulainya rezim Presiden Prabowo Subianto membuka peluang perubahan dalam arah kebijakan negara, khususnya kebijakan luar negeri. Di bawah pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo, kebijakan luar negeri Indonesia cenderung lebih "pasif", berfokus pada pembangunan ekonomi domestik dengan delegasi diplomasi internasional yang sebagian besar diserahkan kepada mantan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Namun, di bawah kepemimpinan Prabowo, mungkin akan muncul pendekatan yang lebih aktif dan asertif dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Menjabat Menteri Pertahanan sejak 2019, Prabowo telah menunjukkan minat besar dalam urusan internasional. Ia aktif menghadiri forum-forum global seperti Shangri-La Dialogue dan menjalin hubungan bilateral dengan para pemimpin dunia, termasuk dengan Presiden Cina Xi Jinping.
Alih-alih akan mengulang gaya Jokowi yang pragmatis, Prabowo kemungkinan besar akan membawa Indonesia memainkan peran yang lebih besar dalam urusan internasional, terutama dalam sejumlah area strategis, seperti sikap Indonesia terhadap sengketa Laut Cina Selatan (LCS), posisi di antara the great powers dan, yang kelihatannya akan diutamakan, peran Indonesia dalam ASEAN.
Pragmatisme ala Jokowi
Kebijakan luar negeri Jokowi mempertahankan sikap hati-hati, sesuai dengan haluan "bebas-aktif", pendekatan yang diperkenalkan oleh Bung Hatta pada 1948 dan kemudian menjadi ciri khas Indonesia sejak era Suharto. Strategi ini bertujuan menyeimbangkan hubungan diplomatik dengan Cina, sebagai ekonomi terbesar di Asia, dan negara-negara ASEAN tanpa mengorbankan perdamaian dan stabilitas kawasan. Prinsip "bebas-aktif", yang didasarkan pada non-intervensi dan kemandirian politik, memungkinkan Indonesia untuk tetap netral-setidaknya untuk tak berpihak secara terbuka.
Namun, prinsip tersebut juga membawa kebijakan luar negeri Jokowi digerakkan oleh pragmatisme ekonomi. "Down to Earth Diplomacy" yang dijalankan Jokowi lebih berfokus pada penguatan hubungan dagang daripada memainkan peran asertif dan multilateral di panggung internasional.
Dalam konteks sengketa LCS, misalnya, Jokowi tampaknya membatasi Indonesia untuk bertindak agresif terhadap sengketa wilayah perairan tersebut. Bahkan terhadap ketegangan antara Cina dan Taiwan pun Indonesia tidak menunjukkan sikap tegas.
Wilayah LCS tidak hanya kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas, tetapi juga merupakan jalur perdagangan laut penting secara global.
Padahal Indonesia, meskipun bukan aktor sentral dalam sengketa teritorial LCS, memiliki kepentingan besar di wilayah tersebut, terutama di sekitar Laut Natuna yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kepentingan yang dimaksud utamanya meliputi kepentingan pertahanan dan ekonomi.
Dalam konteks kompetisi global antara dua kekuatan besar-Amerika Serikat (AS) dan Cina-kebijakan Jokowi juga tidak tampak agresif. Selama ini, Indonesia cenderung fokus membangun kemitraan yang bisa diandalkan dengan negara-negara besar, seperti AS dan Cina. Ini bisa dipahami, mengingat kedua negara sama-sama merupakan mitra strategis Indonesia.
Ditambah lagi dengan ekspansi ekonomi Cina dan adanya pengaruh inisiatif investasi Belt and Road Initiative (BRI) dalam pembangunan infrastruktur dalam negeri, Indonesia kini dalam posisi yang kompleks, memaksa pemimpinnya untuk mencari keseimbangan antara menjaga kedaulatan nasional sembari memperluas hubungan ekonomi.
Akankah Prabowo lebih agresif?
Prabowo kemungkinan akan menerapkan pendekatan yang lebih tegas, terutama melalui peningkatan kapasitas pertahanan. Visi besarnya adalah memprioritaskan keamanan nasional dan pertahanan-yang mencerminkan latar belakang militernya.
Secara khusus, Prabowo telah menekankan pentingnya mempersiapkan Indonesia untuk mengambil peran yang lebih asertif dalam sengketa Laut Cina Selatan dan memperkuat kapasitas pertahanan, seperti menambah platform untuk patroli dan satelit, demi melindungi kepentingan strategis negara di wilayah terkait.
Selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo cukup mengawasi peningkatan infrastruktur militer di wilayah tersebut sebagai respons terhadap tekanan yang meningkat dari Cina. Dengan demikian, Prabowo mungkin akan menggeser pendekatan bebas-aktif tradisional untuk mengambil sikap yang lebih tegas dalam mempertahankan kepentingan nasional, sembari memaksimalkan manfaat ekonomi.
Dalam cakupan ASEAN, Prabowo mungkin akan berusaha memperkuat kepemimpinan Indonesia di kawasan dengan mendorong integrasi ekonomi regional yang lebih kuat. Kebijakan luar negeri Prabowo bisa diarahkan untuk menjadikan Indonesia sebagai aktor sentral dalam dinamika geopolitik dan ekonomi di Asia-Pasifik.
Jika dianalisa dari sudut pandang ekonomi politik internasional (IPE), dalam konteks peningkatan persaingan AS-Cina, Prabowo mungkin akan mencoba memosisikan Indonesia sebagai aktor kunci di jalur perdagangan global dan memastikan proyek-proyek yang dibiayai Cina lewat BRI serta hilirisasi nikel dapat terus berjalan. Namun pada saat yang sama, Prabowo akan berupaya menghindari ketergantungan yang berlebihan pada Beijing.
Prabowo tampaknya akan memperkenalkan dinamika baru dalam menjaga keseimbangan yang rumit antara AS dan Cina. Prabowo sendiri pernah terkait dengan rezim Suharto dan memiliki masa lalu kontroversial terkait tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang membuatnya dilarang masuk ke AS selama 20 tahun. Larangan tersebut baru dicabut pada 2019 setelah Jokowi mengangkatnya sebagai Menteri Pertahanan.
Sejarah hubungannya yang kompleks dengan AS tersebut agaknya akan memengaruhi sikap Prabowo terhadap Washington. Kemungkinan besar ini akan mendorongnya untuk mengarahkan kebijakan luar negerinya menjadi lebih pro-Beijing.
Namun, kembali lagi, situasinya lebih kompleks karena hubungan kemitraan strategis Indonesia dengan kedua negara.
Akankah Prabowo merapat ke blok BRICS?
Kebijakan tradisional Indonesia yang menganut prinsip non-blok kemungkinan akan tetap menjadi panduan di bawah kepemimpinan Prabowo, namun dengan kerja sama yang lebih erat dengan kekuatan non-Barat seperti Cina, Rusia, dan Turki.
Prabowo mungkin melihat penyelarasan dengan kekuatan-kekuatan yang sedang bangkit tersebut sebagai jalur yang lebih menguntungkan untuk memperluas pengaruh Indonesia sebagai kekuatan regional dan global.
Belakangan ini, Prabowo santer diberitakan bahwa akan membuka peluang dalam menjajaki keanggotaan bersama BRICS (blok ekonomi berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan).
Melihat Malaysia yang sudah resmi menjadi negara mitra BRICS dan langkah Thailand untuk masuk ke keanggotaan BRICS, bukan tidak mungkin Prabowo akan mempertimbangkan untuk benar-benar bergabung dengan aliansi poros alternatif tersebut.
BRICS semakin memainkan peran penting sebagai platform untuk kerja sama yang lebih erat antar ekonomi berkembang, dengan tujuan menantang tatanan ekonomi global yang didominasi oleh Barat. Jika Indonesia memutuskan untuk memperdalam hubungan dengan blok ini, Indonesia dapat memperkuat otonomi strategisnya serta menjauhkan diri dari struktur kekuasaan yang didominasi kuat oleh AS dan sekutu-sekutu Baratnya.
Indonesia di bawah pimpinan Prabowo sepertinya akan lebih menonjol dalam kebijakan dan hubungan luar negeri, baik di kawasan maupun di antara kekuatan besar. Meski demikian, bisa dilihat bahwa Prabowo memiliki tujuan memaksimalkan keuntungan ekonomi dan geopolitik, walaupun dengan "memanfaatkan" ketegangan AS-Cina.
Indonesia berada dalam posisi yang unik: dapat memperoleh manfaat dari investasi Cina melalui BRI sekaligus dari inisiatif AS yang bertujuan membangun rantai pasokan global baru, terutama di sektor teknologi dan manufaktur, serta mendorong partisipasi aktif ASEAN dalam menyelesaikan konflik di kawasan.
Aniello Iannone, Indonesianists | Researcher Kajian Kawasan dan Politik Internasional di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK) | Lecturer, Universitas Diponegoro
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Berita Trending
- 1 Dorong Sistem Pembayaran Inklusif, BI Hadirkan Tiga Layanan Baru BI-Fast mulai 21 Desember 2024
- 2 Kenaikan PPN 12% Bukan Opsi Tepat untuk Genjot Penerimaan Negara, Pemerintah Butuh Terobosan
- 3 Desa-desa di Indonesia Diminta Kembangkan Potensi Lokal
- 4 Pemerintah Harus Segera Hentikan Kebijakan PPN 12 Persen
- 5 Libur Panjang, Ribuan Orang Kunjungi Kepulauan Seribu