Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Tiga Kartu Merah Liga 2 dan Misi Jaga Marwah Kompetisi

Foto : ANTARA/HO-Persela.

Ilustrasi. Penyerang Persela Lamongan Ezechiel Ndouasel saat melakukan tendangan dari titik penalti.

A   A   A   Pengaturan Font

Palembang - Tiga kartu merah yang dikeluarkan wasit pada pertandingan Dejan FC melawan Sriwijaya FC pada laga pembuka Liga 2 2024-2025 di Stadion Kera Sakti di Tangerang Selatan, Provinsi Banten, perlu menjadi bahan evaluasi bersama.

Tiga kartu merah baik yang langsung atas sebuah pelanggaran berat maupun akumulasi dua kartu kuning, harus menjadi catatan bagi tim, pemain, pelatih, manajemen dan pemangku kepentingan lainnya termasuk korps pengadil alias wasit lapangan.

Kondisi ini tidak boleh dianggap biasa dalam sebuah pertandingan pembukaan kompetisi tingkat nasional. Tiga kartu merah bagaimanapun mencoreng laga perdana yang merupakan 'etalase' dari pertandingan Liga 2 2024-2025.

Bisa jadi ini merupakan partai pembukaan sebuah kompetisi dengan kartu merah terbanyak dalam satu pertandingan, terlepas dari itu akibat pelanggaran murni atau ada faktor lain dari dinamika di lapangan.

Setiap tim harus berkaca dari pertandingan pertama, agar semua itu tidak terulang lagi dalam pertandingan-pertandingan berikutnya. Bila perlu institusi yang berwenang menggelar kompetisi Liga 2 ini untuk langsung melakukan audit atas pertandingan pertama itu.

Teknologi sudah sangat mendukung untuk melakukan evaluasi dan menjadikan pertandingan lebih baik dan bermutu. Selain statistik penguasaan bola, jumlah assist, jumlah pelanggaran, jumlah corner hingga hal-hal adminstratif pertandingan, regulasi di tim peserta sudah lengkap dalam satu sistem dan aplikasi kompetisi.

Pada laga Dejan FC melawan Sriwijaya FC, kartu merah diperoleh oleh Abanda Rahman dan Dendi dari Sriwijaya FC dan Guntur Triaji dari Dejan FC. Srieijaya FC sendiri harus menerima keunggulan Dejan FC 0-1. Sriwijaya FC harus bertanding dengan sepuluh pemain sejak awal babak kedua.

Jelas dengan dua kartu merah yang diperoleh pada laga pertama menjadi kerugian yang tidak sedikit bagi sebuah tim, karena dipastikan kedua pemain itu tidak akan bisa diturunkan dalam dua pertandingan berikutnya di kompetisi sehingga jelas berpengaruh kepada kerangka tim.

Selain itu, tim juga harus membayar denda senilai yang telah ditentukan dalam regulasi kompetisi untuk kartu kuning dan kartu merah. Memang nilainya tidak seberapa, akan tetapi 'cap'-nya bagi pemain dan kinerja tim. Akumulasi kartu yang diperoleh pemain itu juga konon menentukan untuk penilaian untuk menentukan tim terbaik, pemain terbaik dan utamanya untuk penetapan tim fair play.

Terlepas dari kerugian itu, yang jelas evaluasi dan audit pertandingan perlu dilakukan baik untuk pola dan strategi permainan maupun secara personel untuk para pemain agar kartu merah itu tidak terulang.

Memang bukan keinginan setiap pemain, namun setidaknya hal itu juga menjadi sebuah pelajaran berharga agar tim terhindar dari kerugian akibat tak turunnya pemain yang sebenarnya diharapkan menjadi kekuatan tim. Diskusi dan bicara dari hati ke hati oleh pelatih kepada para pemainnya.

Sebuah tim punya karakter, termasuk tim-tim yang selama ini selalu diidentikkan dengan permainan keras, meskipun dalam sepak bola modern hal hampir tidak ada lagi. Edukasi yang dilakukan PSSI dari waktu ke waktu telah dilakukan untuk menciptakan iklim kompetisi yang kompetitif, bermutu serta menghibur, yang dikemas dengan elegan.

Pertandingan tanpa kartu yang keluar, tak berarti tanpa greget. Pertandingan dengan tempo tinggi tanpa kartu tetap sangat elok ditonton. Sikap pemain dalam meladeni pemain lawan di tengah lapangan menjadi salah satu yang menentukan kualitas pertandingan. Karakter dan kedisiplinan dalam menjaga emosi dalam pertandingan meski dalam kondisi kritis sekaligus lebih baik dan memungkinkan peluang tim tetap terbuka.

Namun kebanyakan di penghujung atau menit-menit akhir, biasanya ada peningkatan tensi permainan, emosi dan atraksi permainan keras. Di sini pula biasanya waktu rawan dari sebuah tim, sehingga tidak sedikit tim yang gagal melewati masa-masa injury time berbuntut gagalnya mengamankan kemenangan atau mengejar ketertinggalan mereka gegara manajemen permainan buyar karena kehabisan stamina, emosional dan meninggalkan skema permainan yang diinstruksikan juru taktik.

Penonton sendiri akan menikmati sebuah pertandingan, terlepas memberikan dukungan kepada salah satu tim maupun sebagai penonton netral. Mereka sudah bisa melakukan penilaian atas sebuah pertandingan maupun rangkaian pertandingan sehingga kualitas penampilan sebuah tim juga akan menentukan jumlah suporter yang hadir di setiap pertandingan.

Penonton atau pengamat saat ini sudah banyak memiliki pilihan untuk mengampaikan kritik dan masukan. Selain berteriak lantang di tribun stadion juga bisa memberikan kritik dan sarannya melalui media sosial yang langsung menjadi ajang diskusi mereka merasa terkait dengan kritikan itu.

Pesan itu pula bisa langsung dibaca oleh tim. Sebuah kerugian pula bila sebuah tim tidak memanfaatkan potensi 'pemain ke-12nya' dalam membangun kekuatan pasukannya.

Kemudian komunikasi itu pula membuat tidak ada lagi alasan setiap tim atau manajemennya untuk asyik sendiri dalam membangun tim. Secara teknis memang otoritas manajemen tim, tapi suporter sebagai pemain ke-12 juga tidak bisa dikesampingkan masukannya, termasuk peluang untuk memonetasi potensi mereka untuk nilai jual tim.

Respon positif dan negatif akan langsung menebar di dunia maya, semua bisa berdasarkan opini, data, fakta juga survei dan analisis.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top