Sawit Jadi Andalan Menuju Transisi Energi
Dari kiri: Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman bersama Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi dalam Indonesian Palm Oil Conference 2023 yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/10).
Foto: Istimewa.BADUNG-Sejumlah kalangan menegaskan bahwa industri sawit bisa diandalkan mengejar targer zero emisi. Terkait itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman menegaskan "No Palm Oil, No Life". Itu menjadi slogan baru yang dipopulerkannya dalam salah satu sesi Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023.
Slogan ini sangat relevan dengan kenyataan bahwa minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati paling serbaguna di dunia dan paling produktif dengan penggunaan lahan paling sedikit pada setiap ton yang dihasilkannya. "Produk dari minyak sawit diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dunia mulai dari bahan makanan, kosmetik, perawatan tubuh lainnya serta energi yang ramah lingkungan,"ungkap dalam Indonesian Palm Oil Conference 2023 yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali, Kamis (2/10).
Bioenergi termasuk biofuel memainkan peran penting dalam usaha Indonesia mencapai Target Transisi energi untuk mencapai Zero Emmission. Saat ini target emisi sudah mencapai 30% dan bioenergi merupakan kontributor utama dalam mencapai target tersebut.
"Program Mandatori Biodiesel merupakan salah satu kunci dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia," tegas Direktur Jendral Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Yudo Dwiananda Priaadi dalam kesempatan yang sama.
Untuk mencapai target zero emission, ke depan Indonesia membutuhkan lebih banyak pasokan kelapa sawit. "Sebagai program mandatori, implementasi biofuel melalui B35 pada tahun 2023 memiliki alokasi dari domestik sebesar 13.15 juta kilo liter dan diharapkan dapat mencapai 13.9 juta kilo liter pada 2025. Hingga September 2023, kontribusi domestik dalam B35 sudah mencapai 8,9 juta kilo liter (68%) serta yang diekspor telah mencapai 121.000 kilo liter," jelas Yudo.
Tidak hanya biodiesel, Indonesia kini tengah mengembangkan penggunaan energi terbarukan lainnya yang berbahan kelapa sawit. Baru-baru ini, pemerintah melalui maskapai plat merah telah menguji coba bahan bakar pesawat terbang atau bioavtur yang merupakan hasil dari penelitian Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Tes sudah mulai dilakukan dengan pencampuran 2.4% bioavtur dalam komposisi bahan bakar pesawat CN-235-220 FTB dan berhasil. Produksi biovatur secara masif akan dilaksanakan pada tahun 2026," ungkap Yudo.
Merespon Hal tersebut, pelaku usaha menyambut baik upaya pemerintah dalam mengembangkan energi berbasis kelapa sawit. General Manager Green Energy Apical Group, Aika Yuri Winata menyatakan pentingnya peran perusahaan dalam memperkenalkan pengembangan minyak nabati kepada dunia. Selain itu Sustainable Aviation Fuel (ASF) bukan hanya masa depan energi terbarukan di masa yang akan datang, namun juga mempertegas kelapa sawit sebagai minyak nabati paling berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.
"Sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi CO2, mencakup 3% dari emisi pada tahun 2019. Ini juga menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk didekarbonisasi, dengan komitmen untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050. SAF muncul sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk bahan bakar pesawat konvensional, mampu mengurangi emisi CO2 hingga 90%," jelas Aika.
Lebih lanjut, Aika menjelaskan Untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit.
"Saat ini ada tiga hal yang masih menjadi tantangan bagi implementasi SAF di Indonesia dan juga di dunia. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dituntut untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, biaya produksi bioavtur yang masih tinggi dibandingkan dengan Fossil serta kebijakan pemerintah yang saling terintegrasi dalam mendukung kebijakan bioenergy khususnya bioavtur sangat diperlukan," jelas Aika.
Terkait ketersediaan pasokan dari kelapa sawit Indonesia di masa yang akan datang, meskipun Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia namun masih menghadapi masalah produktivitas yang jauh dari ideal. Saat ini rata-rata produksi CPO Indonesia hanya 3-4 ton/ha per tahun.
"Untuk memenuhi kebutuhan global maka pentingnya program PSR tidak boleh diabaikan. Tanpa program ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit diproyeksikan akan menurun secara serius. Pada tahun 2025, diperkirakan produksi CPO (Crude Palm Oil) hanya akan mencapai sekitar 44 juta metrik ton. Ini menekankan peran penting program ini dalam menjaga keberlanjutan industri tersebut," tegas Eddy.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 5 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
Berita Terkini
- Warga Diminta Waspada, Gunung Ibu di Halmahera Barat Sudah Dua Kali Erupsi
- Meningkat, KCIC Sebut 100 Ribu Tiket Whoosh Terjual Untuk Momen Natal dan Tahun Baru
- Terus Meluas, Otoritas Victoria Keluarkan Perintah Evakuasi Akibat Kebakaran Semak
- Wamenhub Minta KCIC Siapkan Pengoperasian Stasiun Kereta Cepat Karawang
- Kesadaran Deteksi Dini Kanker Payudara Perlu Ditingkatkan