Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 05 Nov 2024, 14:00 WIB

Menuju COP 29, Menakar Ambisi Iklim Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ilustrasi.

Foto: The Conversation/Shutterstock/Zulfugar Graphics

Stanislaus Risadi Apresian, Universitas Katolik Parahyangan

Dunia akan menggelar konferensi iklim (COP 29) di Baku, Azerbaijan, pada 11-12 November mendatang. Ini sekaligus menjadi konferensi negara peserta pertama bagi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, untuk menunjukkan seberapa ambisius aksi iklim Indonesia kali ini di kancah internasional.

Pertanyaan kemudian muncul: apakah pemerintahan baru ini hanya melanjutkan komitmen iklim Indonesia pada di masa Presiden Jokowi? Adakah gebrakan baru yang lebih ambisius untuk mengejar target penurunan emisi dan adaptasi sesuai kesepakatan konferensi?

Kerangka aksi menuju COP 29

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu melihat lagi keputusan COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab, tahun lalu, dan kerangka aksi Presidensi COP 29.

Salah satu poin penting dari COP 28 adalah perjanjian yang mensinyalkan “beginning of the end” alias awal dari babak akhir era bahan bakar fosil. Kesepakatan ini mengisyaratkan bahwa negara-negara di seluruh dunia wajib mengakhiri ketergantungannya terhadap bahan bakar fosil sebagai sumber energi.

Ini penting agar negara-negara dapat memangkas emisi karbon sebesar 43% pada tahun 2030 dibandingkan dengan jumlah emisi tahun 2019 sebagai patokan.

Namun, alih-alih berkurang, emisi Indonesia kemungkinan besar akan terus meningkat karena penggunaan batu bara yang masih dominan dalam pembangkit listrik.

Menurut data Dewan Energi Nasional (DEN), bauran energi nasional 2023 masih didominasi oleh batubara yaitu sebesar 40,46%, diikuti oleh minyak bumi (30,18%), gas bumi (16,28%), dan energi baru terbarukan (13,09%). Batu bara juga masih mendominasi pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik yaitu sebesar 67%.

Menuju COP 29, Presidensi Azerbaijan telah menyiapkan tiga kerangka aksi yang perlu diperhatikan oleh negara-negara anggota. Pertama. adalah prioritas utama yang tidak bisa ditawar lagi, yakni mencegah pemanasan bumi tidak lebih dari 1,5°C pada 2030 dengan mengurangi emisi secara mendalam, cepat, dan berkelanjutan.

Kedua, rencana Presidensi COP 29 berdasarkan pada dua pilar paralel yaitu peningkatan ambisi iklim dan mewujudkannya menjadi aksi nyata dalam pengurangan emisi, adaptasi iklim, serta kompensasi kerugian dan kerusakan loss and damage.

Ketiga, Presidensi COP 29 juga berupaya untuk memastikan konferensi yang inklusif—melibatkan sebanyak-banyaknya pemangku kepentingan internasional dan mendengar semua suara serta aspirasi.

Visi Prabowo dan komitmen iklim Indonesia

Pemerintahan Prabowo-Gibran idealnya membuat kebijakan yang berkaca pada hasil kesepakatan COP 28 dan kerangka COP 29. Harapannya, posisi Indonesia dapat semakin relevan dalam proses negosiasi iklim di Azerbaijan dan selanjutnya.

Komitmen iklim Pemerintahan Prabowo-Gibran tercermin dari Misi Asta Cita yang digembar-gemborkan ketika kampanye. Setidaknya, Asta Cita menjadi gambaran umum seperti apa arah kebijakan iklim Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Dokumen tersebut menyebutkan secara jelas bahwa perubahan iklim adalah salah satu dari delapan tantangan strategis bangsa Indonesia.

Nah, Prabowo-Gibran seharusnya menjawab tantangan strategis tersebut dengan program prioritas atau program hasil cepat terbaik.

Sayangnya, tidak seperti program makan siang gratis, program terkait penanganan perubahan iklim tidak masuk dalam delapan program hasil cepat terbaik.

Selain itu, Prabowo juga tidak memiliki misi yang spesifik untuk perubahan iklim. Dalam misi kedua, misalnya, dokumen tersebut menyinggung ekonomi hijau dan ekonomi biru yang disandingkan dengan misi sistem pertahanan keamanan.

Dalam misi kedelapan, Prabowo juga menyebutkan penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan. Namun, lagi-lagi misi ini harus berbagi dengan isu budaya dan toleransi.

Sedikit harapan

Secercah harapan terkait ambisi pengurangan emisi dapat ditemukan pada salah satu 17 program prioritas. Dalam program bernomor 11, Prabowo-Gibran menjanjikan percepatan target net zero alias nol emisi gas rumah kaca.

Tentunya ini angin segar apabila Pemerintah Prabowo-Gibran berani meningkatkan target net zero pada 2050, bukan 2060 atau lebih cepat seperti yang tercantum di NDC Indonesia pada 2022.

Selain itu, pemerintahan Prabowo-Gibran juga berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Syaratnya, langkah tersebut harus berdasarkan pada asas keadilan dan keberimbangan.

Adaptasi masih sepi

Adaptasi perubahan iklim menjadi isu yang masih absen dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran. Dokumen tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit tentang adaptasi.

Padahal, isu ini juga krusial. Sebab, ratusan pulau Indonesia berisiko tenggelam akibat perubahan iklim. Ini belum termasuk ancaman kebakaran hutan dan lahan, banjir, krisis air, hingga krisis pangan karena suhu yang memanas.

Selain berfokus pada upaya pengurangan emisi, pemerintah juga perlu memberikan perhatian pada aksi adaptasi. Tujuannya untuk membantu masyarakat rentan menghadapi dampak negatif iklim yang sudah dirasakan saat ini.

Menurut hasil COP 26 di Glasgow, Skotlandia, negara-negara anggota didorong untuk menyeimbangkan aksi mitigasi dan adaptasi menjadi 50:50 termasuk untuk pendanaannya.

Namun, Indonesia masih memiliki kecenderungan untuk menitikberatkan alokasi anggaran untuk mitigasi. Menurut laporan dari Badan Kebijakan Fiskal tahun 2023, komposisi anggaran tahun 2019 dan 2020 paling banyak untuk mitigasi yaitu sebesar Rp54,35 triliun dan Rp41,65 triliun, sedangkan untuk adaptasi hanya Rp39,2 triliun dan Rp33,3 triliun.

Pada 2021, komposisi alokasi anggaran adaptasi meningkat drastis dibandingkan mitigasi, yaitu Rp94,01 triliun untuk adaptasi dan Rp12,34 trilun untuk mitigasi. Peningkatan yang signifikan ini berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mengalokasikan Rp88,4 triliun untuk adaptasi pada 2021.

Peningkatan signifikan terjadi karena adanya perubahan penandaan anggaran. Pendanaan untuk preservasi dan konstruksi jalan serta jembatan yang semula ditandai sebagai aksi mitigasi, diubah menjadi aksi adaptasi pada 2021.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada penambahan anggaran secara signifikan untuk peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat rentan.

Langkah aksi menuju COP 29

Pemerintahan baru Prabowo-Gibran perlu mematok target iklim Indonesia yang lebih ambisius, misalnya target untuk net zero pada 2050 atau bahkan lebih cepat.

Pemerintah juga perlu memasukkan program pengakhiran PLTU dalam komitmen terbaru. Harapannya, program ini dapat diawasi bukan hanya oleh pemangku kepentingan di level nasional tetapi juga internasional.

Prabowo juga perlu meningkatkan ambisi untuk memperkuat ketahanan menghadapi perubahan iklim dalam komitmen terbaru. Pemerintah perlu menyadari bahwa adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi perubahan iklim.

Untuk mencapai COP 29 yang lebih inklusif, Prabowo perlu menggali sebanyak-banyaknya aspirasi dari pemangku kepentingan di level nasional dan lokal. Ini termasuk dari aktivis lingkungan dan kelompok rentan seperti petani, perempuan, anak muda, masyarakat adat, dan masyarakat miskin. Sembari berpartisipasi dan mengumumkan janji-janji dalam COP, pemerintah perlu mendengar sekaligus menjamin keamanan mereka ketika menyampaikan aspirasi.The Conversation

Stanislaus Risadi Apresian, Assistant Professor of International Relations, Universitas Katolik Parahyangan

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.