Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mendambakan Keseimbangan Kekuasaan, Masih Bisakah Berharap pada Oposisi?

Foto : ANTARA/Hendra Nurdiyansyah

Aksi bangun oposisi rakyat di Yogyakarta.

A   A   A   Pengaturan Font

Padahal jika ditelisik lebih dalam, efektivitas pemerintah dalam menerapkan kebijakan sebenarnya turut mengabaikan hak-hak dasar warga negara. Kasus-kasus penggusuran secara represif pada proyek strategis nasional merupakan bukti empirisnya.

Selain itu, kemunculan oposisi menjadi semakin sulit akibat dominasi jaringan patronase (pembagian keuntungan antara politikus) dan klientelisme (relasi timbal balik demi mendapatkan kekuasaan). Partai lebih memilih bergabung ke pemerintahan karena adanya sumber daya negara yang bisa dimanfaatkan untuk menghidupi organisasinya. Presiden juga berkepentingan mengundang partai-partai ke koalisi besar guna menetralisir kekuatan oposisi.

Dan Slater, profesor ilmu politik di Universitas Michigan, Amerika Serikat (AS) menyebut kartelisasi partai ala Indonesia ini sebagai mekanisme pembagian kekuasaan antarelite. Meskipun patron-klien bisa mencegah kembalinya rezim otoritarian, patron-klien juga yang membuat demokrasi Indonesia tidak akan bergerak menjadi lebih substantif.

Bagaimana nasib oposisi setelah Pemilu 2024?

Eksistensi oposisi sangat bergantung pada negosiasi dan hubungan personal antarelite.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top