Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul dalam sesi New Space of Cooperation for the Global South.
Foto: ANTARA/HO-NDC/Yayasan PIKULJakarta - Pemerintah Indonesia menunda peluncuran komitmen penurunan emisi karbon terbaru melalui dokumenSecond Nationally Determined Contributions (NDC) pada konferensi perubahan iklim dunia di Kota Baku, Azerbaijan, yang berlangsung sampai akhir pekan ini.
Dokumen Second NDC yang telah dipersiapkan sejak Februari 2024 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedianya meluncur pada COP29 di Baku, Azerbaijan.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Torry Kuswardono, dokumen Second NDC yang targetnya diserahkan pada Februari tahun 2025 harus mencakup pemihakan yang jelas terhadap hak asasi manusia, hak masyarakat adat, dan transisi energi yang berkeadilan.
“Tidak cukup hanya menghormati masyarakat adat atas pengetahuan saja, tapi juga harus eksplisit menyebut hak tanah masyarakat adat karena pengetahuannya ada di alam dan tanahnya. Bukan di buku,” kata Torry dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Ini adalah dokumen keempat yang Indonesia serahkan ke Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Namun rencana tersebut ditunda, satu alasan penundaan adalah dokumen tersebut perlu disesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi delapan persen dan arahan pemerintahan baru.
Beberapa organisasi masyarakat sipil Indonesia yang hadir pada perundingan di Baku mengingatkan agar dokumen Second NDC tersebut sebaiknya bisa lebih ambisius dari rancangan dokumen yang sebelumnya telah beredar.
Forest Campaigner Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan seharusnya jika Indonesia menyerahkan Second NDC pada momen COP ini akan memperjelas target dan kebutuhan pendanaan iklim Indonesia. Sebagai negara yang rentan dan terdampak krisis iklim, kepemimpinan Indonesia sangat dibutuhkan.
“Sayangnya, di COP 29 ini Indonesia malah sibuk mempromosikan potensi kredit karbon, yang bukan termasuk pendanaan iklim secara publik. Ruang fiskal Indonesia sempit jika berharap pada pendanaan karbon ini, dana tidak masuk ke publik, tapi lebih berat ke swasta,” katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, tanpa ada kesepakatan pada penurunan emisi, pasar karbon akan menjadi risiko memberikan hak berpolusi. Padahal Indonesia butuh pendanaan iklim besar-besaran untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan dan memulihkan daerah-daerah yang telah terdampak bencana akibat krisis iklim.
Dokumen NDC berisi komitmen, target, dan upaya iklim diserahkan setiap lima tahun sebagai bagian dari kontribusi masing-masing negara terhadap penurunan emisi global. Pertama, dokumen First NDC, diserahkan tahun 2016. Kedua, dokumen Updated NDC, pada tahun 2021.
Setahun kemudian, dokumen ketiga menyusul yakni Enhanced NDC. Di dalam dokumen 2022 tersebut, Indonesia meningkatkan ambisi pengurangan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan dari 41 persen menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional.
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Para Pebulu Tangkis Dunia Beri Dukungan ke Christian Adinata Usai Dicoret dari Pelatnas
- Huawei Kalahkan Apple, Dominasi Pasar Jam Tangan Pintar Global
- Penelitian Ungkap Pekerjaan Tertentu Kurangi Risiko Kematian Akibat Alzheimer
- WhatsApp Luncurkan Beragam Fitur Seru
- Film 'Bayang-Bayang Anak Jahanam' Ditayangkan Mulai 16 Januari 2025