Utang dan Perubahan Iklim, Tantangan Negara Berkembang 25 Tahun ke Depan
Bank Dunia memperkirakan negara-negara berkembang akan menghadapi tantangan berat pada 25 tahun mendatang terutama karena beban utang dan dampak perubahan iklim.
Foto: antaraJAKARTA- Bank Dunia memperkirakan negara-negara berkembang akan menghadapi tantangan berat pada 25 tahun mendatang terutama karena beban utang dan dampak perubahan iklim. Kekuatan yang pernah membantu kebangkitan mereka telah menghilang dan berganti dengan hambatan yang menakutkan yaitu beban utang yang tinggi, pertumbuhan investasi dan produktivitas yang lemah, serta meningkatnya biaya perubahan iklim.
Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior untuk Ekonomi Pembangunan Grup Bank Dunia, Indermit Gill dalam keterangannya Minggu (19/1) mengatakan beberapa tahun mendatang, negara-negara berkembang akan membutuhkan 'buku pedoman baru' yang menekankan reformasi domestik untuk mempercepat investasi swasta, memperdalam hubungan perdagangan, dan mempromosikan penggunaan modal, bakat, dan energi yang lebih efisien.
Meski demikian, Bank Dunia menegaskan negara-negara berkembang lebih penting bagi ekonomi global dibandingkan pada awal abad ini. “Mereka menyumbang sekitar 45 persen dari PDB global, naik dari 25 persen pada 2000. Saling kebergantungan mereka juga telah tumbuh, di mana lebih dari 40 persen ekspor barang mereka ditujukan ke negara-negara berkembang lainnya, dua kali lipat dari porsi pada tahun 2000,” ungkap Gill.
Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia dan Direktur Prospects Group, M. Ayhan Kose, mengatakan di dunia yang dibentuk oleh ketidakpastian kebijakan dan ketegangan perdagangan, maka negara berkembang akan membutuhkan kebijakan yang berani dan luas untuk memanfaatkan peluang yang belum dimanfaatkan terutama kerja sama lintas batas.
“Kebijakan ekonomi makro yang baik di dalam negeri akan memperkuat kapasitas mereka untuk menavigasi ketidakpastian prospek global,” ungkapnya.
Ekonomi Berkelanjutan
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY, Tim Apriyanto yang diminta pendapatnya mengatakan negara berkembang, termasuk Indonesia, harus berani meninggalkan fokus pada bisnis jangka pendek dan mengutamakan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.
“Kita perlu melihat ekonomi secara lebih holistik. Pendekatan yang terlalu fokus pada bisnis jangka pendek hanya akan memperburuk tantangan global. Reformasi ekonomi yang berfokus pada keberlanjutan dan efisiensi adalah jalan terbaik,” ujar Tim saat dihubungi kemarin.
Dia juga menyoroti masih tingginya kebergantungan pada konsumsi domestik dan belanja pemerintah. “Negara berkembang perlu mendorong investasi yang berkualitas, bukan sekadar meningkatkan belanja tanpa arah yang jelas. Reformasi fiskal menjadi kunci dalam memastikan anggaran publik harus diarahkan pada sektor-sektor produktif,” jelasnya.
Dalam menghadapi perubahan iklim, Tim menggarisbawahi pentingnya langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. “Investasi dalam energi terbarukan harus menjadi prioritas. Ini tidak hanya mendukung keberlanjutan tetapi juga membantu menekan ketergantungan pada impor energi yang membebani ekonomi,” tambahnya.
Tak lupa pula, dia menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi dan perdagangan. “Negara berkembang harus fokus pada pengembangan produk bernilai tambah tinggi yang mampu bersaing di pasar global. Hal ini tidak hanya meningkatkan devisa tetapi juga menciptakan lapangan kerja yang lebih luas,” paparnya.
Sebab itu, dia menyerukan kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk menciptakan sinergi yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. “Hanya dengan meninggalkan pola pikir bisnis jangka pendek, kita bisa menciptakan ekonomi yang inklusif dan berdaya saing,” pungkasnya.
Ruang Fiskal Terbatas
Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya YB. Suhartoko mengatakan, saat ini negara-negara sedang berkembang (NSB) berusaha mengejar kemajuan yang sudah dicapai negara-negara maju. Karena keterbatasan pendanaan, maka NSB banyak melakukan pendanaan utang, baik domestik maupun luar negeri.
Konsekuensinya cicilan dan biaya bunga akan menjadi beban di masa mendatang. Akibatnya, ruang fiskal produktif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas. “Maka harus kurangi kebergantungan utang,”tegasnya.
Tantangan besar lainnya kata Suhartoko seperti disebutkan Survai World Economy Forum adalah perubahan iklim yang menyebabkan pengeluaran bengkak. Untuk konteks tersebut, transisi energi menjadi kuncinya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Semangat Awal Tahun 2025 by IDN Times: Bersama Menuju Indonesia yang Lebih Kuat dan Berdaya Saing
- 2 Harus Kerja Keras untuk Mewujudkan, Revisi Paket UU Politik Tantangan 100 Hari Prabowo
- 3 Pemerintah Dorong Swasta untuk Bangun Pembangkit Listrik
- 4 Sah Ini Penegasannya, Proyek Strategis Nasional di PIK 2 Hanya Terkait Pengembangan Ekowisata Tropical Coastland
- 5 Ayo Perkuat EBT, Presiden Prabowo Yakin RI Tak Lagi Impor BBM pada 2030