Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 21 Jan 2025, 01:20 WIB

Harus Kerja Keras untuk Mewujudkan, Revisi Paket UU Politik Tantangan 100 Hari Prabowo

Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha.

Foto: ANTARA/Dokumen Pribadi

JAKARTA - Anggota Komisi II DPR Mohammad Toha menilai 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan perbaikan sistem politik di tanah air, salah satunya dengan merevisi paket undang-undang (UU) politik.

“Perbaikan sistem politik itu bisa dilakukan dengan revisi paket UU politik melalui sistem omnibus law, yang akan menggabungkan banyak UU, seperti UU Pemilu, Pilkada, Partai Politik, dan UU lainnya,” kata Toha dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (20/1).

Dia menyebut banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem politik di Indonesia selepas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 dihelat. Misalnya, terkait pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).

“PKB mengusulkan agar pelaksanaan pileg dan pilpres dipisah, yaitu pileg dahulu baru kemudian pilpres,” ujarnya.

Menurut dia, selama kedua pemilihan itu digelar serentak maka masyarakat lebih fokus terhadap pilpres, sebaliknya gelaran pileg kurang mendapatkan perhatian.

“Akhirnya para caleg yang bertarung dalam pileg kurang mendapatkan atensi dari masyarakat. Pilpres lebih diminati,” ucapnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan revisi UU Pemilu dan Pilkada dalam undang-undang sapu jagat atau omnibus law politik akan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas persentase minimal pencalonan presiden atau presidential threshold.

“Proses revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pun pembahasannya harus merujuk kepada semangat putusan MK ini. Misalnya, termasuk dengan syarat threshold (ambang batas, red) pencalonan bagi kepala daerah,” kata Wamendagri.

Segera Dibahas

Selain itu, Bima memastikan Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah akan berkomunikasi dengan Komisi II DPR mengenai putusan MK tersebut. “Iya kan memang kami segera mulai pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.

MK telah memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selanjutnya, MK mempelajari arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.