Yudi Hardianto, Monash University
Stroke atau gangguan pembuluh darah otak menyebabkan 245 ribu kematian pada 2019 dan berkontribusi terhadap 11,2% dari total kasus disabilitas di Indonesia pada 2023. Penanganan penyakit yang lamban menjadi salah satu penyebab tingginya kematian akibat stroke.
Pasalnya, stroke sering kali terjadi mendadak (akut) dan periode kritisnya sangat cepat, sekitar 4,5 jam. Pada kebanyakan kasus, pengidap stroke harus segera dibawa ke rumah sakit agar tidak berujung fatal–karena penanganannya hanya boleh dilakukan oleh ahli.
Kendati penanganan stroke begitu krusial untuk menyelamatkan nyawa, proses pemulihan (rehabilitasi) jangka panjang juga tidak kalah penting dan sangat diperlukan oleh pasien stroke. Setelah melewati fase akut dan menjalani pengobatan, banyak pengidap stroke terganggu aktivitasnya akibat kelemahan otot dan masalah kognitif. Penurunan fungsi tubuh ini bisa memicu gangguan kesehatan mental, seperti depresi.
Rehabilitasi stroke seperti fisioterapi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pengidap stroke. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa fisioterapi rutin minimal 2-3 hari per pekan berpotensi mempercepat pemulihan kemampuan fisik pengidap stroke.
Fisioterapi bisa dilakukan di beberapa fasilitas kesehatan (faskes), seperti rumah sakit, klinik mandiri, dan puskesmas. Dari segi kemudahan akses dan jangkauan ekonomi, puskesmas bisa menjadi pilihan terbaik untuk terapi pemulihan pasien stroke. Sayangnya, penyebaran tenaga fisioterapis di puskesmas Indonesia belum merata.
Potensi fisioterapi stroke di puskemas
Menurut Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015, terdapat sekitar 599 fisioterapis yang bekerja di puskesmas dan tersebar di 30 provinsi. Angka ini masih jauh dari total puskesmas yang mencapai lebih dari 10 ribu di seluruh Indonesia. Alhasil, mayoritas puskesmas belum memiliki fisioterapis.
Padahal, jika dibandingkan dengan faskes lainnya, rehabilitasi stroke di puskesmas memiliki sejumlah keunggulan, di antaranya:
1. Jarak lebih dekat
Akses ke fasilitas kesehatan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pengidap stroke, terutama pasien yang masih mengalami keterbatasan fisik berat maupun bertempat tinggal jauh dari faskes.
Puskesmas bisa menjadi pilihan utama karena umumnya fasilitas kesehatan ini ada di setiap kelurahan.
2. Penanganan lebih cepat
Dibandingkan dengan rumah sakit yang memiliki pasien lebih banyak, rehabilitasi stroke di puskesmas mungkin relatif lebih sepi. Pasien stroke jadi tidak perlu antre terlalu lama–terutama jika datang lebih awal–sehingga proses fisioterapi bisa dilakukan lebih cepat.
3. Biaya yang terjangkau
Jika dibandingkan dengan rehabilitasi stroke di klinik mandiri, biaya pemulihan stroke di puskesmas lebih terjangkau, khususnya bagi kelas ekonomi menengah ke bawah. BPJS Kesehatan menanggung rehabilitasi stroke dengan maksimal kunjungan dua kali seminggu
Puskesmas juga menyediakan layanan rehabilitasi stroke non-BPJS dengan tarif beragam, mulai dari Rp7.500 tergantung kebijakan puskesmas setempat.
4. Terapi yang intensif
Di luar rehabilitasi stroke gratis dua kali sepekan menggunakan BPJS Kesehatan, pasien bisa melakukan fisioterapi di puskesmas setiap hari, terutama di fase awal pascastroke sesuai dengan rekomendasi fisioterapis.
5. Kunjungan rumah
Ketika pasien stroke tidak bisa mengunjungi puskesmas, fisioterapis puskesmas bisa melakukan kunjungan ke rumah pasien untuk memberikan terapi.
Harapan baru rehabilitasi stroke di Indonesia
Fisioterapi di puskesmas sangat potensial untuk mendukung proses pemulihan fisik pengidap stroke. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merilis Pedoman Kerja Puskesmas terbaru pada Oktober lalu.
Pedoman tersebut menyertakan kebijakan penyediaan fisioterapi sebagai layanan puskesmas dan pengadaan tenaga fisioterapis yang direkomendasikan pada setiap puskesmas di Indonesia. Ini merupakan kabar gembira bagi para pengidap stroke yang sebelumnya kesulitan mendapatkan layanan rehabilitasi di fasilitas kesehatan karena masalah transportasi, jarak, ataupun finansial.
Harapannya, pasien stroke dapat lebih mudah menjangkau layanan rehabilitasi guna membantu proses pemulihan dengan adanya layanan fisioterapi di puskesmas.
Pengadaan tenaga rehabilitasi, seperti fisioterapis di puskesmas telah sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengintegrasikan layanan rehabilitasi pada pelayanan kesehatan primer masyarakat. Menurut WHO, layanan rehabilitasi di fasilitas kesehatan primer dapat menurunkan risiko pengidap stroke kembali dirawat di rumah sakit. Hal ini bisa menghemat biaya perawatan di rumah sakit yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan puskesmas.
Tugas pemerintah selanjutnya
Adanya kebijakan mengenai penyediaan layanan fisioterapi pada Pedoman Kerja Puskesmas menandai kemajuan yang signifikan dalam sistem kesehatan Indonesia. Namun, untuk menunjang penerapannya, pemerintah perlu melakukan sejumlah hal berikut:
1. Pedoman lanjutan
Diperlukan pedoman lanjutan mengenai model layanan fisioterapi di puskesmas yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pengidap stroke. Pemerintah bisa mendesain model layanan rehabilitasi stroke di puskesmas dengan melibatkan berbagai pemangku kebijakan terkait.
2. Buka lowongan untuk tenaga fisioterapis
Untuk memenuhi kekurangan tenaga fisioterapis di puskesmas, pemerintah perlu membuka lowongan kerja lebih besar. Kemenkes perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk membuka lowongan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) khusus tenaga fisioterapis yang ditempatkan di puskesmas.
3. Peningkatan kapasitas fisioterapis
Pemerintah perlu mengadakan lebih banyak pelatihan untuk meningkatan kapasitas fisioterapis di puskesmas agar bisa memberikan layanan rehabilitasi stroke yang optimal sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
Dengan menerapkan sejumlah rekomendasi di atas, diharapkan pemerataan layanan pemulihan stroke di Indonesia bisa lebih optimal sehingga turut meningkatkan angka kesembuhan pengidap stroke di Indonesia.
Yudi Hardianto, Dosen Fisioterapi Universitas Hasanuddin, Indonesia dan Mahasiswa S3, Monash University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.