Presiden Meminta Belanja Pemerintah dalam APBN Tahun 2025 Harus Dimanfaatkan Seefisien Mungkin
Presiden RI, Prabowo Subianto
Foto: antaraJAKARTA– Presiden RI, Prabowo Subianto, mengingatkan akan kondisi geopolitik dunia yang penuh ketidakpastian, yang diwarnai ketegangan akibat peperangan dan persaingan ketat antarnegara besar.Kondisi tersebut mengakibatkan ketidakpastian di bidang ekonomi, bahkan kecenderungan ada perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar.
“Karena itu, APBN tahun 2025 dirancang untuk menjaga stabilitas, inklusivitas, keberlanjutan dengan kehati-hatian. Kita punya cita-cita yang tinggi, tapi kita harus terus melakukan pengendalian ekonomi secara prudent, hati-hati, dan terencana dengan baik,” kata Presiden saat penyerahan DIPA dan TKD 2025, serta peluncuran katalog elektronik di Istana Negara Jakarta.
Bahkan, negara-negara yang dianggap lebih maju dari Indonesia justru diwarnai dengan kondisi darurat militer dan ketegangan-ketegangan lain. Sebab itu, kita harus waspada bahwa setiap saat bisa muncul kondisi yang lebih parah dari kondisi sekarang,” kata Presiden.
Sebab itu, Presiden meminta agar belanja pemerintah dalam APBN Tahun 2025 harus dimanfaatkan seefisien dan sehemat mungkin di seluruh bidang. Kepala Negara juga kembali meminta pemerintah daerah (pemda) untuk memerangi kebocoran anggaran, dan menempatkan anggaran negara hanya untuk kepentingan rakyat.
“Kita harus menjamin setiap rupiah uang rakyat sampai ke rakyat yang memerlukan. Kita tidak boleh lagi toleransi terhadap kebocoran, pengeluaran yang boros, hal-hal yang tidak langsung mengatasi kesulitan rakyat, hal-hal yang tidak produktif,” kata Prabowo.
Presiden pun mengajak seluruh unsur untuk mengurangi pengeluaran yang bersifat seremonial atau peresmian, mengurangi kegiatan bersifat kajian atau seminar, dan lebih fokus untuk mengatasi masalah secara langsung.
Menanggapi kondisi tersebut, pengamat ekonomi, Salamudin Daeng, mengakui kalau kondisi APBN 2025 berat. APBN, jelasnya, tidak pernah naik secara riil dibandingkan 10 tahun lalu jika diukur dalam mata uang dollar AS.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kurs rata rata 7.000–8.000 rupiah per dollar AS. Sekarang, 15.500 rupiah per dollar AS. “APBN terakhir SBY 1.600 triliun rupiah atau 220 miliar dollar AS saat itu. Sekarang APBN 2025 dirancang 3.600 triliun rupiah atau setara juga dengan 220 miliar dollar. Sama saja,” papar Salamuddin.
Hal yang membuat kondisi APBN tidak pernah naik karena dibuat bergantung pada utang. Meskipun APBN tidak bertambah dalam dollar AS, namun utang Indonesia bertambah dalam dollar karena pelemahan kurs.
“Jadi, APBN Indonesia akan selamanya lemah dalam perdagangan internasional atau hubungan apapun secara internasional,”jelas Salamuddin.
Sebab itu, pemerintahan Presiden Prabowo harus mencari jalan ke luar dari sistem APBN yang lemah, dan dilemahkan secara sistematis untuk membuat negara bergantung pada utang dari sektor swasta dan dari luar negeri.
“APBN yang seperti ini tidak akan meningkatkan kapasitas negara dalam berbagai bidang di tengah ancaman internasional yang meningkat seperti krisis, perang dan perubahan iklim serta transisi sistem moneter dan digitalisasi,” katanya.
Ancaman ke depan, tambahnya, akan sangat besar yang menuntut pemerintah harus belajar dari pengalaman pandemi Covid-19. Saat itu, pemerintah terpaksa menambah utang sebesar 3.000 triliun rupiah dalam tiga tahun Covid.
Pemerintah juga diminta segera menerapkan Undang-Undang Mutual Legal Assistance (MLA) dalam rangka penyelamatan aset, kekayaan, dan keuangan negara.
Utang Jatuh Tempo
Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan Presiden Prabowo perlu bersiap menghadapi tantangan fiskal yang jauh lebih berat dibanding era Jokowi.
“Ini bukan sekadar ada program makan bergizi gratis, tapi persoalan utang jatuh tempo dan bunganya,”tegas Bhima.
Selain itu, untuk refinancing atau mencari sumber pembiayaan baru juga tidak mudah. Begitu utang mau dibayar dengan utang baru maka situasi global membuat investor meningkatkan persepsi risikonya. Sementara investor dalam negeri mau menjual SBN, tapi khawatir mengganggu likuiditas perbankan. Itu pekerjaan rumah terbesar fiskal Presiden Prabowo.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Akhirnya Setelah Gelar Perkara, Polisi Penembak Siswa di Semarang Ditetapkan Sebagai Tersangka
- 2 Jakarta Luncurkan 200 Bus Listrik
- 3 Krakatau Management Building Mulai Terapkan Konsep Bangunan Hijau
- 4 Kemenperin Usulkan Insentif bagi Industri yang Link and Match dengan IKM
- 5 Indonesia Bersama 127 Negara Soroti Dampak dan Ancaman Krisis Iklim pada Laut di COP29