Muruah Pemberantasan Korupsi di Indonesia
- Pemberantasan Korupsi
Oleh: Romli Atmasasmita

Ket. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran - Romli Atmasasmita
Doc: istimewa
Program pemberantasan korupsi telah dijadikan target utama tiap pemerintahan sejak masa Soeharto sampai dengan Prabowo. Namun yang tampak nyata adalah secara signifikan untuk membalikkan keadaan korupsi menjadi lebih menurun dan menghilang dari muka bumi Indonesia.
Korupsi semakin tumbuh subur. Koruptor semakin memadati Lapas Cipinang dan Lapas Sukamiskin. Kerugian keuangan negara yang merupakan target UU Pemberantasan Korupsi sejak tahun 1971, tidak kunjung memberikan kontribusi pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) jika dibandingkan dengan anggaran negara yang disediakan dan telah digunakan oleh Kejaksaan, KPK, dan Kepolisian sampai saat ini.
Keberadaan lembaga pengawas, seperti Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Yudisial serta Komisi Nasional HAM juga tidak banyak memberikan kontribusi signifikan terhadap perbaikan sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan yang bebas KKN sejak 1999 yang lampau.
Koruptor banyak yang melarikan ke negara lain (buron), termasuk pengusaha ekspor yang menempatkan/menyembunyikan devisa hasil ekspor di negara lain yang dirasa lebih aman daripada memasukkan ke negara.
Pemberantasan korupsi yang digadang-gadang akan mampu membersihkan ASN dan aparatur penegak hukum termasuk Lembaga Kekuasaan Kehakiman seperti Mahkamah Agung justru telah memberikan contoh buruk dengan banyaknya yang terlibat tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman sehingga masyarakat dibuat bingung dalam mengacungkan telunjuknya; kepada koruptor itu ataukah kepada aparatur penegak hukum yang tugas pokoknya membasmi korupsi alias lazim secara sinis, “maling teriak maling”.
Begitu pula masalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya lelang hasil sitaan barang bergerak dan tidak bergerak serta dana korupsi yang terkumpul di Kejaksaan Agung.
Sampai saat ini, kita tidak pernah mendengar Sri Mulyani, Menteri Keuangan, mengumumkan kepada masyarakat luas tentang besaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil KPK dan Kejaksaan Agung sebagai bentuk pertanggungjawaban negara kepada masyarakatyang berhak mengetahui digunakan untuk apa saja dana-dana korupsi tersebut.
Anda mungkin tertarik:
Gagasan Presiden Prabowo untuk memberikan ampunan kepada koruptor terutama yang kabur ke negara lain untuk kembali dan mengembalikan utuh dana hasil korupsi perlu dijadikan bahan kajian khusus dari sisi baik positif dan negatifnya, apalagi mengingat ketidakberhasilan pemerintah dan jajarannya secara maksimal memenuhi target pemberantasan korupsi tidak tampak nyata.
Koruptornya semakin banyak dan tidak ada jera-jeranya. Uang negara yang berhasil dikembalikan relatif tidak sebanding dengan anggaran negara yang dikeluarkan untuk tujuan pemberantasan korupsi.
Gagasan presiden Prabowo tersebut memiliki nilai-nilai spiritual dan nilai sosial serta masa depan yang lebih baik dalam pemberantasan korupsi. Nilai spiritual yang terkandung dalam gagasan tersebut bahwa sesuai dengan perintah ajaran agama Islam,Janganlah kebencianmu terhadap korupsi dan koruptor sehingga kamu berlaku tidak adil (Surat Al Ma’idah ayat 8) karena adil itu dekat pada takwa.
Selain hukuman yang diterima koruptor dan juga diwajibkan membayar denda serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebanyak harta kekayaan yang dinikmati oleh koruptor; perlu dipertimbangkan upaya lain, yaitu mengembalikan uang negara yang dikorupsi tanpa harus menjalani hukuman.
Hal ini terjadi di negara AS, Inggris, dan Prancis ketika pelaku korupsi terrbukti melakukan korupsi maka kepadanya diberikan pilihan menyerahkan kembali hasil korupsi kepada negara tanpa dilakukan penuntutan dan sebaliknya kewajiban negara untuk melindungi koruptor yang bersangkutan dari tuntutan negara-negara lain.
Dengan demikian, kemanfaatan terbesar akan diperoleh negara dan masyarakatnya digunakan untuk membiaya kegiatan-kegiatan mengentaskan kemiskinan dan pendidikan serta biaya makan bergizi sehat dan bansos, dan lain-lain.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, jelas gagasan pengampunan terhadap koruptor dan penyerahan secara sukarela uang hasil korupsi kepada negara memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dan negara dibandingkan dengan tujuan menghukum dan merampas aset-aset hasil korupsi; perampasan aset harus ditempatkan sebagai sarana terakhir (lender of the last resort).
Mengingat bahwa manusia adalah mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang dipandang sempurna dibandingkan dengan hewan, maka manusia dilahirkan dengan tiga jenis kecerdasan; kecerdasan intelektual, kecerdasan nurani, dan kecerdasan spiritual. Tiga jenis kecerdasan ini seyogianya dimiliki oleh ASN dan terutama aparatur penegak hukum sehingga hukum tidak lagi dipandang sebagai norma statis, melainkan cermin dari perilaku/sikap aparatur penegak hukum. Namun hukum berdasarkan Pancasila harus dipandang dan diakui sebagai nilai (values) yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila.
Pandangan hukum sebagai nilai (values) memiliki landasan teoritik yaitu teori hukum integratif (Romli Atmasasmita) yang dikembangkan sejak tahun 2020. Sejak proses penyelidikan, penyidikan sampai pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan; aparatur hukuim termasuk hakim telah memahami tugasnya dengan baik, tidak semata mengetahui, tetapi juga memahami hukum/undang-undang tidak sekadar norma tertulis, akan tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sila Pancasila. Jika dijalankan, dapat dipastikan bahwa fungsi dan peranan hukum dalam masyarakat adalah menempatkan hukum sebagai tempat yang layak dan sepantasnya ditempat sebagai pelindung dan bernaung bagi kehidupan masyarakat dengan aman, damai, serta penuh kasih.