Hanya Suku Bunga Kompetitif yang Membuat Investor Bertahan
Badiul Hadi Manajer Riset Seknas Fitra - BI dapat menaikkan atau menahan suku bunga acuan. Dengan suku bunga yang kompetitif, akan menarik investor untuk tetap menanam modal di Indonesia sehingga mengurangi capital outflow yang semakin deras.
Foto: KORAN JAKARTA/M FACHRI» Fundamental ekonomi Indonesia harus diperkuat dengan meningkatkan produktivitas nasional.
» BI perlu membangun ekosistem keuangan yang stabil dengan memperkuat regulasi dan memperbaiki infrastruktur keuangan.
JAKARTA - Nilai tukar atau kurs rupiah sejak pekan lalu terus menunjukkan pelemahan. Depresiasi itu bahkan masih berlanjut hingga perdagangan di awal pekan ini di mana rupiah ditutup turun 77 poin atau 0,50 persen ke level 15.724 per dollar AS dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu di level 15.647 per dollar AS. Pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan faktor-faktor pendorong terjadinya arus modal keluar adalah perbedaan (spread) tingkat suku bunga di dalam negeri dengan di luar negeri beserta inflasi dan instabilitas politik yang dapat mempengaruhi kepercayaan investor.
"Untuk menghambat capital flight (pelarian modal), suku bunga dalam negeri harus memperhitungkan kondisi suku bunga di luar negeri dan melihat fluktuasi rupiah terhadap dollar AS. Inflasi juga dapat memicu, menyebabkan investor akan membawa keluar modalnya," jelas Dian. "Mencegah hal itu memerlukan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi, tetapi tidak terlalu berlebihan karena akan menyebabkan konsumsi masyarakat turun," katanya.
Pengendalian inflasi memang harus menjaga change in supply kebutuhan pokok terpenuhi. Selain itu, huru-hara, gonjang-ganjing politik dan sejenisnya juga jangan sampai terjadi. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan yang mungkin bisa dimitigasi adalah dengan meningkatkan devisa negara agar jumlah valuta asing (valas) khususnya dollar AS cukup untuk mencegah depresiasi rupiah.
"Kedua, dengan mengurangi kebergantungan menggunakan dollar AS dengan mengurangi impor barang/ jasa," jelas Esther. Dalam teori ekonomi moneter, terangnya, ini namanya dedolarisasi. Begitu juga utang dalam dollar AS harus dikurangi. "Memang tidak mudah, tetapi harus ke arah sana," katanya. Hal lainnya dengan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia yakni dngan meningkatkan produktivitas nasional.
Bunga Kompetitif
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan untuk solusi jangka pendek, Bank Indonesia (BI) dapat menaikkan atau menahan suku bunga acuan. Dengan suku bunga yang kompetitif akan menarik investor untuk tetap menanam modal di Indonesia sehingga mengurangi capital outflow yang semakin deras. Selain itu, pemerintah juga bisa memilih kebijakan untuk mengintervensi pasar valas, misalnya dengan menjual cadangan devisa guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
"Ini akan dapat menyakinkan investor tetap berinvestasi di Indonesia dan mengurangi tekanan di pasar saham dan SBN (Surat Berharga Negara)," ucap Badiul. Untuk jangka panjang, lanjutnya, setidaknya pemerintah dapat melakukan dua hal, yaitu pemerintahan baru saat ini bersama BI dapat merumuskan dan mengambil kebijakan investasi, utamanya investasi domestik melalui insentif pajak atau subsidi bagi industri strategis. Kebijakan tersebut guna mengurangi kebergantungan pada investasi asing, sehingga perekonomian domestik terjaga dengan baik.
Jika terjadi outflow, peningkatan investasi domestik dapat memperkuat fundamental ekonomi. BI juga perlu membangun ekosistem keuangan yang stabil dengan memperkuat regulasi dan memperbaiki infrastruktur keuangan. "Dengan kebijakan terukur dan regulasi yang mendukung stabilitas, maka pasar Indonesia akan tahan pada gejolak dan risiko outflow modal," kata Badiul.
Sementara itu, pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (28/10), mengatakan faktor yang cukup kuat mendorong penguatan dollar AS terhadap sejumlah mata uang lainnya adalah kecenderungan investor beralih ke "safe haven" atau dollar AS untuk mengantisipasi pemilihan Presiden 2024 di AS yang tinggal seminggu lagi. Arus masuk ke dollar AS juga didorong oleh ekspektasi meningkatnya ketidakpastian politik di Jepang, setelah koalisi yang dipimpin oleh Partai Demokrat Liberal yang berkuasa kehilangan mayoritas di parlemen dalam pemilihan akhir pekan.
"Meningkatnya ketidakpastian atas pemilihan presiden AS juga diharapkan akan memacu permintaan safe haven, terutama dengan jajak pendapat baru-baru ini yang menunjukkan persaingan ketat antara Donald Trump dan Kamala Harris.
Namun, dollar tampaknya lebih diuntungkan dari ketidakpastian itu," katanya. Oleh sebab itu, pada pekan ini, pelaku pasar akan fokus pada serangkaian pembacaan ekonomi utama untuk mendapatkan lebih banyak petunjuk, di antaranya data produk domestik bruto dari AS dan zona Euro yang akan dirilis dalam beberapa hari mendatang, sementara data indeks harga PCE, pengukur inflasi pilihan Federal Reserve, juga akan dirilis akhir pekan ini.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Electricity Connect 2024, Momentum Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
- 2 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 3 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
- 4 Tim Putra LavAni Kembali Tembus Grand Final Usai Bungkam Indomaret
- 5 Seminar Internasional SIL UI Soroti Koperasi Indonesia di Era Anthropocene
Berita Terkini
- Cagub Ridwan Kamil Komitmen Hadirkan Program Tebus Murah Sembako
- Prihatin Nasib Peternak Sapi, DPR Minta Pemerintah Tegas Tetapkan Aturan Tata Niaga Impor Susu
- Jalankan Diplomasi Publik, Kemlu RI Fokus pada Prioritas Dua Plus Satu
- Tiongkok Luncurkan Langkah Baru Dorong Perdagangan Luar Negeri di Tengah Ekonomi yang Melambat
- Melebihi Target! Prabowo Raih Komitmen Investasi 18,5 Miliar Dollar AS