Empat Dekade Penderitaan Pascabencana Kebocoran Gas Bhopal di India
Penyintas bencana kebocoran gas beracun di Kota Bhopal, India, pada Desember 1984, Gas Devi, sedang mengerjakan tugas harian di luar gubuknya pada akhir November lalu. Setelah 40 tahun malapetaka itu terjadi, Devi masih merasakan kesakitan
Foto: AFP/Gagan NAYARTepat setelah tengah malam, ketika gumpalan asap beracun mengepul melalui Kota Bhopal, India, empat dekade lalu, Gas Devi lahir, terengah-engah untuk setiap tarikan napasnya. Tangisannya yang lemah tenggelam oleh jeritan pria, perempuan, dan anak-anak, saat mereka berlari menyelamatkan diri dari awan gas sangat beracun yang bocor dari pabrik Union Carbide pada malam 2 Desember 1984.
Sekitar 3.500 orang tewas sesaat setelah malapetaka mengerikan tersebut dan secara keseluruhan diperkirakan sebanyak 25.000 orang tewas dalam bencana industri paling mematikan di dunia itu.
Empat puluh tahun kemudian, kejadian mengerikan itu terus menghantui kehidupan orang-orang seperti Devi, serta banyak orang lainnya yang lahir dengan cacat sejak malam yang menentukan itu. Devi yang kini menjadi buruh harian, merasakan nyeri terus-menerus di dadanya dengan salah satu paru-parunya tak berkembang sempurna dan dia kerap jatuh sakit.
"Hidup saya bagaikan neraka," kata Devi kepada AFP, berbicara di gubuknya di Bhopal, ibu kota Negara Bagian Madhya Pradesh.
Sekalipun dia mau, dia tidak dapat melupakan malam kelahirannya. "Orang tuaku menamaiku Gas," kata dia dengan mata berkaca-kaca. "Aku yakin nama ini adalah kutukan. Aku berharap aku mati malam itu," tutur dia.
Dua puluh tujuh ton metil isocyanate (MIC) yang digunakan dalam produksi pestisida, menyapu kota berpenduduk lebih dari dua juta orang setelah salah satu tangki yang menyimpan bahan kimia mematikan itu menghancurkan casing betonnya. Saat awan putih MIC menyelimuti area dekat pabrik, orang-orang mulai bergelimpangan di jalanan.
Nathuram Soni, kini berusia 81 tahun, adalah salah seorang penyintas dari malapetaka mengerikan tersebut. "Orang-orang berbusa di mulut mereka. Ada yang buang air besar, ada yang tersedak muntahannya sendiri," kata Soni.
Dengan sapu tangan diikatkan di hidungnya, Soni menggunakan gerobak dorongnya untuk melarikan tetangganya yang kesakitan dimana banyak dari mereka adalah bayi, ke rumah sakit.
Sementara itu Rashida Bee, salah satu pendiri lembaga amal Chingari Trust yang menawarkan perawatan gratis kepada anak-anak dari keluarga yang terkena dampak kebocoran gas, meyakini mereka yang meninggal adalah orang yang beruntung.
"Setidaknya penderitaan mereka berakhir. Yang malang justru mereka yang selamat," ucap dia.
Yayasan Rashida telah merawat lebih dari 150 anak yang menderita cerebral palsy, gangguan pendengaran, bicara, dan disabilitas lainnya tahun ini. Dia menyalahkan kecelakaan dan pencemaran air tanah atas gangguan kesehatan tersebut.
Pengujian air tanah di dekat lokasi tersebut di masa lalu mengungkapkan kandungan bahan kimia penyebab kanker dan cacat lahir 50 kali lebih tinggi daripada yang diterima sebagai aman oleh Badan Perlindungan Lingkungan AS.
"Tragedi ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir," kata Rashida, 68 tahun, yang telah kehilangan beberapa anggota keluarganya akibat kanker sejak kecelakaan itu. "Tanah dan air di sini terkontaminasi. Itulah sebabnya masih banyak anak yang lahir dengan kelainan," ucap dia.
Mencari Keadilan
Union Carbide, yang diakuisisi oleh Dow Chemical Company yang berpusat di Michigan pada tahun 2001, secara rutin membuang limbah kimia selama bertahun-tahun sebelum terjadinya malapetaka tersebut, kata para pegiat.
Akibatnya kolam penguapan besar di luar pabrik dipenuhi ribuan liter limbah cair. Racun pun meresap ke dalam tanah dan air yang mengalir ke beberapa lingkungan.
Pada tahun 1989, Union Carbide, dalam penyelesaian sebagian tuntutan di luar pengadilan dengan pemerintah India, setuju untuk membayar kompensasi sebesar 470 juta dollar AS kepada para korban. Tetapi para korban sendiri tidak diajak berkonsultasi dalam negosiasi tersebut, dan masing-masing hanya menerima 500 dollar AS saja. Pemilik saat ini pun menolak membayar kompensasi lebih lanjut atas bencana yang terus terjadi hingga hari ini.
Permohonan ganti rugi sebesar 500.000 rupee (5.920 dollar AS) dari pemerintah India untuk setiap korban yang didiagnosis menderita kanker atau penyakit ginjal, ternyata masih tertunda di pengadilan.
Rachna Dhingra, seorang aktivis sosial dari Kelompok Bhopal untuk Informasi dan Aksi, mengatakan keadilan sejati masih luput dari para penyintas. "Sampai hari ini, tidak ada satu orang pun yang masuk penjara karena telah membunuh lebih dari 25.000 orang dan melukai setengah juta orang, serta mencemari tanah dan air tanah," kata dia.
"Masyarakat kota terus berjuang karena tidak ada mekanisme hukum untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan ini di seluruh dunia. Tragedi di Bhopal seakan-akan telah mengajarkan perusahaan cara lolos dari hukuman ketika mereka melakukan pembunuhan," ungkap dia. AFP/I-1
Berita Trending
- 1 Presiden Prabowo Pastikan Pembangunan IKN Akan Terus Berlanjut hingga 2029
- 2 Danantara Jadi Katalis Perekonomian Nasional, Asalkan...
- 3 Ekonom Sebut Pembangunan IKN Tahap II Perlu Pendekatan yang Lebih Efisien
- 4 Gugatan Lima Pasangan Calon Kepala Daerah di Sultra Ditolak MK
- 5 Uang Pecahan Seri Anak-Anak Dunia 1999 Tak Lagi Berlaku, Ini Cara Penukarannya