Iklan — Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Terlalu Banyak Institusi Mikro, Pemerintah Kurang Fokus Bangun Desa

KORAN-JAKARTA.COM | Rabu, 25 Jun 2025, 01:16 WIB
iklan kopi jjroyal sidebar

JAKARTA - Upaya Pemerintah melakukan pemerataan ekonomi ke perdesaan melalui berbagai program seperti Koperasi Merah Putih dinilai tidak akan efektif karena kurang melakukan perhitungan yang cermat dan terkesan tumpang tindih dengan program dan institusi yang sudah ada sebelumnya seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Koperasi Unit Desa (KUD). 

Bahkan dengan alokasi anggaran yang mencapai 2 miliar rupiah untuk satu unit Koperasi Merah Putih bisa mubazir jika tidak berjalan dengan baik. Padahal, kalau alokasi anggarannya untuk 100 koperasi saja dikumpulkan sudah mencapai 200 miliar rupiah. Jumlah tersebut, sudah cukup untuk membangun industri sekunder yang bisa memberikan nilai tambah pada hasil pertanian dari desa dan pasar rakyat.

Terlalu Banyak Institusi Mikro, Pemerintah Kurang Fokus Bangun Desa Doc: istimewa

Ket. Pemerataan Ekonomi - Industri Sekunder Bisa Beri Nilai Tambah Hasil Pertanian dari Desa

Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa mengatakan Pemerintah tidak bisa mengalahkan penetrasi minimarket ke pelosok desa apabila hanya mengandalkan koperasi desa tanpa membangun industri sekunder.

Menurut Awan, yang diperlukan sebenarnya ialah pengorganisasian ekonomi rakyat baik petani, nelayan, pedagang pasar, pengecer, dan buruh/konsumen melalui koperasi multi pihak yang bergerak di sektor budidaya, industri pengolahan, keuangan, dan pemasaran.

“Perlu konsolidasi ekonomi rakyat melalui integrasi vertikal dalam koperasi multi pihak yang berjejaring dengan pemerintah, perguruan tinggi, lembaga keuangan, asosiasi, komunitas, dan media,” tegas Awan.

Dia menilai skema koperasi desa yang disiapkan pemerintah saat ini belum mampu mengatasi masalah tersebut sehingga perlu diubah atau diarahkan ke bentuk yang dianggap bisa lebih kompetitif.

Koperasi desa jelasnya perlu diarahkan untuk membangun konsolidasi dan integrasi vertikal tersebut, tidak boleh bergerak parsial dan terbatas teritori sehingga tidak dapat mencapai skala ekonomi.

“Dengan cara itu kekuatan ekonomi desa baru bisa mengalahkan penetrasi minimarket yang semakin cepat ke wilayah yang mengendalikan ekonomi desa,”tegasnya.

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan, Bagaimanapun semakin banyak instansi atau program berpotensi timbul timpang tindih yang ujung-ujungnya pemborosan. Bahkan kalau sampai miskoordinasi akan menghambat program itu sendiri. Pemerintah harus konsisten dalam program efesiensinya juga.

Strategi Pembangunan

           Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih bertahan di angka 4,9 persen pada kuartal I-2025 belum mencerminkan kesejahteraan riil masyarakat.

Dia bahkan menyebut pertumbuhan tersebut sebagai “pertumbuhan palsu” yang justru memperlebar ketimpangan sosial dan melemahkan ekonomi rakyat.

“Perekonomian kita tumbuh, tapi rakyat tertinggal di belakang. Ini kegagalan struktural, karena kita tidak sungguh-sungguh membangun ekonomi desa,” kata Achmad.

Menurut Achmad, kesalahan utama pemerintah adalah terlalu banyak membentuk institusi keuangan mikro di desa tanpa membangun industri yang memberi nilai tambah.

“Koperasi Merah Putih misalnya, diberi 2 miliar rupiah per unit, tapi mubazir karena tidak ada hilirisasi. Mending kumpulkan 200 miliar rupiah, bangun industri sekunder di desa. Itu baru ada dampaknya,”kata Achmad.

Ia juga menilai menjamurnya minimarket justru membunuh pasar rakyat dan merusak ekonomi lokal. “Tutup semua minimarket di desa. Dorong pasar rakyat dan distribusi lokal. Ini soal strategi pembangunan yang berpihak,” katanya.

Laporan Bank Dunia sendiri mencatat bahwa sektor pertanian dan jasa menjadi penopang utama pertumbuhan saat ini, sementara industri manufaktur terus melambat. Bahkan, lebih dari 50 persen pekerjaan baru diciptakan di sektor informal dengan produktivitas rendah.

“Bayangkan, 60 persen pekerja Indonesia saat ini ada di sektor informal. Itu artinya kita gagal membangun ekosistem kerja yang aman dan produktif. Ini tidak bisa dibiarkan,” lanjut Achmad.

Yang lebih mengkhawatirkan, konsumsi rumah tangga kelas menengah yang seharusnya menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional justru stagnan. Dalam lima tahun terakhir, konsumsi riil kelas menengah hanya tumbuh 1,3 persen per tahun. Di sisi lain, kelompok termiskin dan terkaya justru tumbuh lebih dari 2-3 persen.

“Kita terlalu fokus ke bansos untuk miskin dan investasi untuk konglomerat. Kelas menengah justru dilupakan. Padahal mereka adalah penyangga ekonomi nasional. Kalau ini terus berlanjut, mimpi Indonesia Emas 2045 hanya akan jadi utopia,” pungkas Achmad.

Like, Comment, or Share:

Tren Saat Ini
Realtime
Ads
Berita Terkait

Milik Siapakah Tas Terhamal di Dunia Seharga Rp162 Miliar?

Jumat, 11-Jul-2025 | Aloysius Widiyatmaka

Rona Milik Siapakah Tas Terhamal...

KKP Akui: Revitalisasi Tambak Pantura Butuh 'Dorongan Keras'

Jumat, 11-Jul-2025 | Muchamad Ismail

Ekonomi KKP Akui: Revitalisasi Tamb...

Geopark Rinjani: Insiden Juliana Marins Jadi Refleksi Kelola Destinasi

Jumat, 11-Jul-2025 | Bambang Wijanarko

Nasional Geopark Rinjani: Insiden Ju...

Disdikbud Kaltim Percepat Persiapan Sekolah Garuda Transformasi

Jumat, 11-Jul-2025 | Bambang Wijanarko

Nasional Disdikbud Kaltim Percepat P...
Video Pilihan
Tanpa Antisipasi Dini, Pertumbuhan Ekonomi 2025 bisa Lebih Rendah dari Proyeksi