Pemerintah Perlu Melakukan Negosiasi dengan AS untuk Kurangi Dampak Kenaikan Tarif
Koran-jakarta.com || Jum'at, 04 Apr 2025, 11:06 WIBJAKARTA-Pemerintah perlu segera melakukan negosiasi perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) untuk mengurangi dampak kenaikan tarif bagi produk ekspor Indonesia ke AS.

Ket. Presiden Amerika Serkat (AS), Donald Trump saat mengumumkan kenaikan tarif pada mitra dagang, Rabu (2/4).
Doc: istimewa
"Kekuatan negosiasi diplomatik menjadi sangat krusial, dalam memitigasi dampak dari perang dagang dengan AS,"ungkap Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini, PhD, Jumat (4/4).
Pemerintah juga lanjutnya perlu mengoptimalkan perjanjian dagang secara bilateral dan multilateral, Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA/perjanjian kerja sama ekonomi), serta inisiasi perjanjian kerja sama dengan negara non-tradisional untuk mendorong ekspor produk terdampak, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan, seperti minyak kelapa sawit, karet, perikanan. Sehingga, pelaku ekspor dan industri terdampak dapat mengalihkan pasar ekspor.
Pemerintah juga perlu memberikan kebijakan Insentif keuangan, subsidi, dan keringanan pajak dapat membantu bisnis mengatasi peningkatan biaya dan pengurangan permintaan akibat dampak tarif dan perang dagang AS.
Selain itu, investasi dalam kemajuan teknologi dan inovasi, peningkatan keterampilan tenaga kerja juga diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global, sebagai upaya dalam jangka panjang.
Diketahui, Presiden Amerika Serkat (AS), Donald Trump menerapkan tariff reciprocal terhadap beberapa negarap partner dagang, yang dinilai telah melakukan penerapan tariff kepada barang import dari AS sebelumnya. Kebijakan proteksionisme AS ini ditujukan untuk mendorong produksi dalam negeri, lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi AS.
Anda mungkin tertarik:
Tariff reciprocal yang diterapkan AS berkisar antara 10 - 39 persen. Indonesia menjadi salah satu negara yang diberikan tariff reciprocal tersebut, sebesar 32 perssn, sementara China (34%), EU (20%), Vietnam (46%), India (26%), Jepang (24%), Thailand (36%), Malaysia (24%), Filipina (17%),Singapura (10%).
Menurut Eisha Maghfiruha, tarif yang diberlakukan untuk Indonesia lebih tinggi dari negara Asia lain, seperti Malaysia, Singapura, India, Filipina, dan Jepang.
Secara rata-rata tahunan, pangsa pasar ekspor Indonesia ke negara tujuan AS sebesar 10,3 persen, terbesar kedua setelah ekspor Indonesia ke Cina.
"Penerapan tarif pada produk-produk ekspor Indonesia ke AS, akan berdampak secara langsung, tarif tersebut akan berdampak pada penurunan ekspor Indonesia ke AS secara signifikan, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan, seperti minyak kelapa sawit, karet, perikanan,"ungkap Eisha Maghfiruha.
Secara teori ucapnya, dengan adanya penerapan tarif, maka akan terjadi trade diversion dari pasar yang berbiaya rendah ke pasar yang berbiaya tinggi, sehingga akan berdampak pada biaya yang tinggi bagi pelaku ekspor untuk komoditas unggulan, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furniture, dan produk pertanian, dampaknya adalah melambatnya produksi, dan lapangan pekerjaan.
Kurangi Pendapatan
Pengamat Kebijakan Publik Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi mengatakan, mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke AS pada tahun sekitar 2023) sekitar 20-25,5 miliar dollar AS.
"Itu berarti penerapan tarif 32 persen bisa mengurangi pendapatan negara sekitar 10-20 persen. Karena penurunan ekspor. Potensi los sekitar 5,1 miliar dollar AS,"ucap Badiul pada Koran Jakarta, Jumat (4/4).
Artinya kata dia, tarif tinggi ini memperburuk neraca perdagangan negara, yang mana ekspor lebih sedikit daripada impor. "Ini akan memengaruhi posisi cadangan devisa negara karena pendapatan dari ekspor berkurang,"ucapnya lagi.
Tarif lebih tinggi pada barang barang impor akan berdampak pada kenaikan harga barang tersebut di pasar domestik, dan situasi ini dapat memperburuk daya beli masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi konsumsi, dan bagi negara pengekspor berpengaruh pada pendapatan dan berpengaruh pada devisa negara eksportir.