Koran-jakarta.com || Rabu, 26 Mar 2025, 23:33 WIB

Dosen Unair Tanggapi Menurunnya Tradisi Nyekar Sebelum Lebaran

  • Unair
  • Universitas Airlangga (Unair)
  • Nyekar
  • Pakar Unair

JAKARTA - Tradisi nyekar atau ziarah kubur menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia menjelang Hari Raya Idulfitri. Nyekar bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan budaya yang kuat karena menjadi momen bagi keluarga untuk berkumpul, mempererat hubungan antargenerasi, serta menjaga identitas keluarga dan komunitas.

Dosen Unair Tanggapi Menurunnya Tradisi Nyekar Sebelum Lebaran

Ket. Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga (Unair) Biandro Wisnuyana

Doc: Istimewa Dosen Unair Tanggapi Menurunnya Tradisi Nyekar Sebelum Lebaran

Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga (Unair) Biandro Wisnuyana, menilai nyekar memiliki makna sakral dan profan. Secara religius, tradisi ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dengan cara berdoa dan memohonkan ampunan bagi mereka.

"Dari perspektif antropologi simbolik, nyekar melambangkan keterhubungan antar-generasi dalam masyarakat agraris yang menjunjung tinggi gotong royong dan kekeluargaan,” kata Biandro, dikutip dari laman resmi Unair, Rabu (26/3).

Dia mengungkapkan bahwa dalam dua dekade terakhir, tradisi nyekar mengalami pergeseran, terutama di kalangan generasi muda. Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup mendorong masyarakat untuk memilih cara yang lebih praktis dalam menjalankan ritual ini.

"Kini, banyak orang mengirim doa melalui media sosial atau grup keluarga," tuturnya.

Selain itu, nyekar tidak lagi dilakukan secara ketat menjelang Lebaran, melainkan lebih fleksibel menyesuaikan dengan kesibukan masing-masing individu. Urbanisasi juga menjadi faktor yang menyebabkan menurunnya partisipasi generasi muda, karena keterbatasan waktu dan semakin berkurangnya keterikatan emosional dengan tradisi ini.

“Hal ini menunjukkan pergeseran tradisi dalam konteks kemajuan teknologi dan informasi. Generasi muda semakin jarang terlibat langsung dalam nyekar, baik karena kesibukan maupun karena keterikatan emosional yang semakin berkurang akibat urbanisasi,” jelasnya.

Briandro mengungkapkan, tantangan dalam melestarikan tradisi nyekar antara lain meningkatnya urbanisasi yang membatasi akses ke makam, pergeseran perspektif keagamaan yang menganggap nyekar bukan kewajiban, serta kurangnya edukasi mengenai nilai budaya dalam tradisi ini. Menurutnya, peran keluarga sangat penting dalam menjaga keberlanjutan tradisi nyekar. 

Dia menyarankan agar anak-anak diperkenalkan dengan tradisi ini sejak dini, sehingga mereka memahami makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu, pemanfaatan teknologi sebagai sarana edukasi dan dokumentasi dapat menjadi alternatif agar generasi muda tetap terhubung dengan tradisi ini, meskipun dalam bentuk yang lebih modern.

“Generasi muda kurang mendapatkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai budaya yang terkandung dalam nyekar. Kurangnya edukasi dan keterbatasan waktu membuat mereka semakin jauh dari tradisi ini,” ucapnya.

Dia menambahkan bahwa peningkatan kesadaran budaya di sekolah dan komunitas melalui edukasi tentang pentingnya nyekar bisa menjadi solusi agar tradisi ini tetap relevan. Penyediaan fasilitas refleksi di pemakaman atau tempat khusus di rumah untuk mengenang leluhur juga dapat menyesuaikan nyekar dengan gaya hidup modern, sehingga tradisi ini tetap lestari di tengah perkembangan zaman.

Tim Redaksi:
M
S

Like, Comment, or Share:

Tulisan Lainnya dari Muhamad Ma'rup

Artikel Terkait