Transisi Energi Masih Lamban
BANGUN PLTS - Pekerja mengecek panel surya di area pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu. Pembangunan PLTS tersebut untuk fase pertama sebesar 10 megawatt (MW) dari total kapasitas 50 MW yang akan menyuplai energi terbarukan untuk IKN dan akan beroperasi pada 29 Pebruari 2024.
Jika hanya bertumpu pada kebijakan saat ini tanpa strategi terukur, pencapaian target bauran energi terbarukan akan lambat.
JAKARTA - Kebijakan energi dan dekarbonisasi industri perlu diperbarui demi mencapai target bauran energi terbarukan. Sebab, penerapan energi terbarukan sampai saat ini masih lamban.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang jika Indonesia hanya bertumpu pada kebijakan saat ini tanpa strategi terukur, maka pencapaian target bauran energi terbarukan akan lambat. "Bahkan, (bauran energi) Indonesia tidak akan melebihi 30 persen pada 2060," kata Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik IESR His Muhammad Bintang dalam diskusi bersama media bertajuk Update Isu dan Kebijakan Transisi Energi di Indonesia di Jakarta, Rabu (3/7).
Karena itu, IESR menilai Indonesia perlu mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan sebagai strategi penurunan emisi gas rumah kaca untuk mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, demi membatasi kenaikan suhu bumi yang menyebabkan krisis iklim.
Untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan penurunan emisi sektor energi secara signifikan, menurut IESR, dibutuhkan pemutakhiran kebijakan seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Selanjutnya, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan finalisasi RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) harus mencakup peningkatan target penurunan emisi dan skema yang mendukung pencapaian tersebut secara terukur.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Muchamad Ismail
Komentar
()Muat lainnya