Jangan Lengah, Indonesia Tidak Boleh Makin Terpuruk dalam Impor Pangan
Kebutuhan Pokok
Foto: ANTARA/ASEP FATHULRAHMANJAKARTA - Indonesia dinilai sebagai pasar yang paling menguntungkan oleh negara-negara produsen pangan. Hal itu mengacu pada tingginya nilai impor komoditas pertanian Indonesia yang menurut Internasional Trade Administration pada 2022 melampui 28 miliar dollar Amerika Serikat (AS).
Adapun komoditas pangan impor Indonesia, antara lain gandum, kedelai, beras, daging sapi, buah segar, dan berbagai bahan pakan. Lima negara pemasok terbesar kebutuhan pangan Indonesia itu adalah Australia, AS, Brasil, Tiongkok, dan India dengan pangsa 58 persen dari total nilai impor RI.
Bagi AS, Indonesia adalah tujuan ekspor terbesar ke-11 untuk produk pertanian AS. AS juga adalah eksportir barang pertanian terbesar kedua ke Indonesia, dengan nilai 3,3 miliar dollar AS. Ekspor pertanian AS teratas ke Indonesia adalah kedelai, produk susu, biji-bijian penyulingan, kapas, gandum, dan produk daging sapi.
Menurut United States Department of Agriculture (USDA), kedelai dan produk susu adalah produk teratas yang diekspor ke Indonesia oleh AS dan mengalami peningkatan tahun ke tahun terbesar pada tahun 2022. Ekspor kedelai meningkat sebesar 164 juta dollar AS atau 15 persen, dan ekspor produk susu meningkat sebesar 135 juta dollar AS. Sementara ekspor gandum, biji-bijian, dan kapas juga menunjukkan peningkatan yang baik, masing-masing sebesar 45 juta, 45 juta, dan 18 juta dollar AS.
Kenaikan harga komoditas curah menjadi penyebab utama peningkatan nilai ekspor pada tahun 2022, tetapi beberapa komoditas juga mengalami peningkatan volume yang signifikan, termasuk gandum 13 persen dan produk susu 14 persen.
Menanggapi hal itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan tingginya impor pangan karena sektor pertanian Indonesia tidak tertata dengan baik, tidak kompetitif, dan kehilangan strategi untuk membangun sektor unggulan dan produktivitas. "Beberapa produk pertanian seperti gandum dan kedelai memang sulit bersaing," kata Anthony.
Menurut dia, Indonesia seharusnya bisa memperbaiki neraca perdagangan beras, daging sapi dan produk hortikultura baik dari sisi produksi melalui pertanian modern maupun pemasaran.
Peran pemerintah dan perguruan tinggi dalam menemukan benih unggulan untuk meningkatkan produktivitas sangat minim bahkan nihil. Oleh karena itu, produktivitas cenderung stagnan bahkan menurun. "Kalau ini dibiarkan terus terjadi maka sektor pertanian akan menjadi beban ekonomi, dan para petani akan bertambah miskin," katanya.
Sementara itu, Pengajar Program Studi Agroteknologi Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali, I Nengah Muliarta, mengatakan tingginya nilai impor pertanian Indonesia, terutama komoditas gandum, kedelai, beras, daging sapi, dan buah segar, merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertumbuhan penduduk yang pesat dan urbanisasi menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman dan industri. Hal itu menyebabkan luas lahan produksi terbatas. Begitu juga penggunaan teknologi pertanian yang masih terbatas, serta kualitas benih dan pupuk yang kurang optimal, mengakibatkan produktivitas lahan pertanian Indonesia masih relatif rendah.
"Faktor berikutnya kondisi iklim yang ekstrem seperti El Nino dan La Nina, serta bencana alam seperti banjir dan kekeringan, sering mengganggu produksi pertanian dalam negeri," kata Muliarta.
Di sisi demand, meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mendorong peningkatan konsumsi pangan, terutama produk-produk olahan dan impor yang dianggap memiliki kualitas lebih baik. Perubahan gaya hidup masyarakat modern yang semakin mengadopsi pola makan Barat, seperti konsumsi daging dan produk olahan susu, juga turut meningkatkan permintaan impor.
Situasi Ironis
Pengamat pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan informasi Departemen Perdagangan AS menunjukkan negara-negara lain sudah memahami secara transparan sektor pertanian Indonesia, yang meskipun disebut sebagai negara agrrais, tapi belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
"Ini agak ironis karena negara lain sudah sangat mengetahui kondisi pertanian kita, entah mereka datanya dapat dari mana. Tapi memang ternyata negara-negara lain sudah mengincar Indonesia sebagai pasar yang menjanjikan," kata Zainal.
Pemaparan itu juga mengajak pelaku usaha mereka untuk berlomba-lomba mengisi segala ceruk ekspor yang bisa diisi. "Ini baru satu negara, bagaimana dengan eksportir lain, seperti Vietnam, Tiongkok, India? Harusnya ini menjadi perhatian pemerintah. Jangan sampai lengah agar semakin tidak semakin terpuruk dalam impor pangan," tuturnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dorong Sistem Pembayaran Inklusif, BI Hadirkan Tiga Layanan Baru BI-Fast mulai 21 Desember 2024
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
Berita Terkini
- Antisipasi Lonjakan Pengunjung, Dishub DIY Imbau Wisatawan Jalan Kaki Masuk Malioboro Saat Libur Natal
- Data Hingga H-3 Natal, Sebanyak 835 Ribu Kendaraan Tinggalkan Jabotabek
- Gudang Ini Digerebek, Polda Riau Sita 2,6 Kg Sabu dan 6 Ribu Pil H5 untuk Malam Tahun Baru
- Gerak Cepat, Polda Sumut Musnahkan Ratusan Mesin Judi Elektronik
- Lensa Kontak Sekali Pakai untuk Usia 40 Tahun ke Atas Diluncurkan