Italia Menyimpan Ratusan Koleksi Etnografis Indonesia, Haruskah Kita Repatriasi?
Manekin Kanolo, bangsawan Nias, di Museum Antropologi dan Etnologi Firenze.
Ini justru merupakan koleksi penting. Sebab, setelah tergusur dari lingkungan asli mereka dan tinggal di barak-barak penampungan, suku Sakai terpaksa beradaptasi dengan cara hidup yang sama sekali berbeda. Tidak ada lagi aktivitas memancing, berenang, dan menjaring ikan dengan perahu kecil bagi anak-anak Sakai.
Saat ini, sebagian besar dari orang Sakai terdislokasi dan dipaksa hidup permanen. Mereka meninggalkan kehidupan semi-nomaden dan berburu yang merupakan tradisi turun temurun. Ini justru banyak memberikan dampak negatif bagi generasi muda Sakai.
Nasib serupa dialami lebih awal oleh masyarakat asli Nias selatan. Gencarnya misi-misi keagamaan yang dimulai sejak 1865 membuat masyarakat Nias meninggalkan kebiasaan lama. Puncaknya adalah peristiwa Fangesa Sebua (Pertobatan Besar) pada 1916-1930, ketika hampir seluruh orang asli Nias berpindah memeluk agama Nasrani yang kemudian diikuti dengan pemusnahan ikon-ikon agama lama, seperti patung-patung leluhur dari kayu dan pelarangan aktivitas pembuatan patung leluhur.
Tak heran, dalam penelitian lapangan saya di Nias Selatan tahun ini, ketika saya menunjukkan beberapa foto benda-benda Nias yang ada di Museum Antropologi dan Etnologi Firenze, banyak anak muda bahkan orang tua yang sudah tidak mengenali benda-benda etnografis tersebut. Situasi ini cukup memprihatinkan, mengingat koleksi etnografis merupakan pengikat akar budaya dan rasa identitas kolektif yang berasal dari tradisi leluhur.
Pemerintah pilah-pilih
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya