Dokter Kulit Sebut Risiko Infeksi Mengintai saat Gunakan Pakaian Bekas
Ilustrasi - seorang wanita sedang memilah pakaian bekas
Boleh membeli dan menggunakan pakaian bekas, tapi ada yang perlu diperhatikan. Kalau dari sisi kesehatan adalah penularan infeksi.
JAKARTA - Dokter spesialis kulit dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Arini Widodo, SpKK mengatakan bahwa seseorang berisiko mengalami penularan infeksi baik dari bakteri, jamur, virus, maupun parasit seperti tungau dan kutu saat menggunakan pakaian bekas.
"Boleh membeli dan menggunakan pakaian bekas, tapi ada yang perlu diperhatikan. Kalau dari sisi kesehatan adalah penularan infeksi. Agen infeksi baik dari bakteri, jamur, virus, dan parasit seperti tungau dan kutu berpotensi menyebar melalui pakaian tersebut," kata Arini saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menurut anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) itu, pakaian bekas tidak bisa dijamin kebersihannya baik dari proses penjualan, pengiriman, maupun kebersihan dari pemakai sebelumnya. Adapun beberapa penyakit yang dapat dibawa oleh agen infeksi itu di antaranya scabies dan eksim.
Bahkan pada forum-forum kesehatan, Arini mengatakan pernah ditemukan virus pernapasan seperti rhinovirus, virus influenza, dan virus-virus lainnya pada pakaian bekas.
Selain itu, pada pakaian bekas juga biasanya disemprotkan fumigant atau bahan kimia lainnya untuk mencegah dan mengendalikan infeksi. Namun, menurut Arini, penyemprotan tersebut dapat menimbulkan efek samping lain jika uapnya terhirup secara terus menerus.
"Biasanya efek yang bisa timbul antara lain sakit kepala, pusing, vertigo, mual, muntah, penglihatan kabur, dan bahkan mungkin bisa kejang-kejang," ujar Arini.
Di samping itu, ia menambahkan, bahan kimia tersebut juga dapat membuat kulit iritasi dan mencetuskan alergi pada beberapa orang yang sensitif.
Meski demikian, Arini menuturkan bahwa seberapa besar risiko infeksi akibat menggunakan pakaian bekas tentu sangat tergantung pada proses disinfeksi.
"Kalau disinfeksinya benar, risikonya sedikit. Sebaliknya, jika disinfeksinya tidak dilakukan dengan benar, pasti risikonya besar," katanya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir risiko infeksi adalah mencuci pakaian dengan air mendidih. Arini mengatakan, hal tersebut dapat mematikan berbagai macam organisme patogen penyebab infeksi. Namun, perlu diingat bahwa air mendidih dapat merusak berbagai warna dan bahan pakaian tertentu.
Untuk menghindari infeksi jamur, Arini menyarankan mencuci menggunakan cairan pemutih pakaian yang mengandung zat aktif sodium hypochlorite untuk pakaian putih dan menggunakan karbol untuk pakaian berwarna.
"Bisa dengan metode dua liter air dicampur tiga tutup botol cairan pemutih pakaian tersebut dan didiamkan selama 15 menit. Sedangkan pada penggunaan karbol bisa digunakan dengan metode dua liter air dicampur empat tutup botol karbol dan didiamkan selama dua jam. Setelah itu bilas dan cuci seperti biasa pakai deterjen," jelas Arini.
Sedangkan untuk menghindari scabies, Arini menyarankan untuk cuci pakaian, sprei, dan selimut menggunakan deterjen anti-tungau dan air panas di dalam mesin cuci.
Lalu, keringkan menggunakan pengering dalam tingkat kekeringan paling panas atau setrika dengan panas yang tinggi. Bisa juga mengeringkan pakaian dengan hair dryer atau menggunakandry cleaning.
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya