Jum'at, 15 Nov 2024, 14:55 WIB

Agar Pensiun Ceria, Replacement Ratio Harus Ditingkatkan 70-80%

Salah satu iklan BPJS Ketenagakerjaan yang mengajak mempersiapkan diri sedini mungkin sebelum pensiun.

Foto: BPJS Ketenagakerjaan

JAKARTA- Fenomena deflasi sejak Mei hingga September 2024 atau lima bulan berturut-turut menunjukkan turunnya daya beli masyarakat, terutama para pekerja di sektor formal yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kementerian Tenaga Kerja mencatat jumlah karyawan yang kena PHK per 13 November 2024 sudah mencapai 64.221 pekerja. Meskipun sebagian besar korban PHK mendapat hak pesangon dari perusahaan, namun kompensasi yang mereka terima itu hanya cukup untuk membiayai kehidupan mereka bersama keluarga selama beberapa waktu.

Kondisi tersebut semakin berat, jika pekerja korban PHK tersebut selain sebagai tumpuan keluarganya, juga masih ikut menopang biaya hidup orang tuanya yang tidak bekerja atau sudah pensiun.

Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda yang diminta pendapatnya di Jakarta, Kamis (14/11) mengatakan kondisi seperti itu harus menjadi kepedulian semua pihak. Pemerintah, dunia usaha sebagai pemberi kerja dan pekerja itu sendiri harus sadar akan pentingnya menyiapkan kehidupan dan masa depan pekerja dengan terencana, baik saat terdampak PHK maupun saat memasuki masa pensiun.

Meskipun sempat menuai kontroversi soal usulan replacement rasio atau rasio uang pensiun terhadap gaji semasa aktif bekerja bagi pensiun yang mencapai 40 persen dari upah, namun secara pribadi Nailul mengaku setuju dengan usulan dari Organisasi Buruh Sedunia (Internasional Labour Organization (ILO).

Replacement ratio yang lebih tinggi, semakin menurunkan beban anak dalam membiayai kebutuhan orang tua ketika pensiun, sehingga mereka tidak menjadi sandwich generation,” kata Nailul.

Sebagai informasi, replacement ratio saat ini masih berada di angka 15 persen karena ada anggapan biaya hidup orang tua ketika pensiun dibiayai oleh anak-anaknya. Ini yang harus diubah agar ke depan tidak menjadi beban anak-anaknya,” katanya.

Untuk meningkatkan rasio yang ideal, maka perlu mengedukasi ke pekerja baik di sektor formal maupun non formal serta ke perusahaan sebagai pemberi kerja. Pekerja jelasnya perlu diberi imbauan agar menyiapkan Jaminan Hari Tua atau Jaminan Pensiun sejak masih aktif dan produktif.

“Pemberi kerja juga harus berbagi beban untuk pembayaran JHT dan dana pensiun untuk pekerja. Sementara Pemerintah selaku regulator harus mengatur kenaikan gaji yang layak, dan sistem JHT yang tidak memberatkan pekerja maupun pemberi kerja” kata Nailul.

Usia Harapan Hidup 

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), Syarifudin Yunus mengatakan data terbaru menunjukkan usia harapan hidup penduduk Indonesia semakin membaik menjadi rata-rata 73 tahun. Jika menggunakan hitungan matemastis, maka masa pensiun dijalani rata-rata 18 tahun oleh pekerja sektor formal yang pensiun di umur 55 tahun.

“Hasil hitung-hitungan kami kalau pekerja ingin mempertahankan standar dan kualitas hidupnya saat pensiun sama ketika bekerja, maka replacement rasio idealnya 70-80 persen,” kata Syarifudin.

Kendati demikian, usulan ILO dengan replacement ratio 40 persen sudah baik, ketimbang saat ini yang baru mencapai 15 persen.

“Bagi pekerja formal peserta JHT dari BPJS Ketenagakerjaan, besaran yang mereka terima saat pensiun itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs),” kata Syarifudin.

Sebab itu, perlu alokasi tambahan dana pensiun yang dipersiapkan dari awal agar saat pensiun, pekerja tetap ceria.

Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto mengimbau supaya Pemerintah dan pemberi kerja memandang pekerja sebagai aset berharga yang harus dilindungi hingga menjalani masa pensiun dengan baik.

“Sekarang yang harus dipikirkan adalah aturan yang dapat memayungi nasib pekerja pada masa setelah PHK sampai mendapat pekerjaan kembali. Begitu juga, saat mereka pensiun,” kata Bagong. 

Bagikan: