Tarif Tol tak Layak Naik
Oleh DR EDY PURWO SAPUTRO, SE, MSi

Ket.
Doc: koran jakarta/ONES
Salah satu bad news akhir tahun 2017 adalah kenaikan (lagi) tarif tol sejumlah ruas mulai 8 Desember. Argumennya, perlu penyesuaian tarif setelah kenaikan tahun 2015. Ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No 973/KPTS/M/2017. Ini juga merujuk UU No 38 Tahun 2004 yang menegaskan penyesuaian tarif dilakukan setiap 2 tahun, berdasarkan disesuaikan dengan inflasi.
Faktor lain komitmen terhadap business plan dan juga meningkatkan kualitas layanan. Factor- factor kenaikan tersebut perlu diidentifikasi permasalahannya. Argumen dari Keputusan PUPR dan UU No 38 Tahun 2004 cenderung bersifat legal formal. Sementara itu, acuan dari keputusannya, tuntutan penyesuaian tarif dan komitmen peningkatan kualitas layanan yang justru menjadi pertanyaan mengapa semakin banyak ruas tol dibangun, ternyata tidak bisa mengurai kemacetan.
Ini tidak hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai ruas lain. Padahal, ruas tol merupakan salah satu bentuk infrastruktur yang kini terus digenjot pembangunannya dengan dana tidak kecil, termasuk melibatkan investor asing.
Aspek kedua, komitmen terhadap peningkatan kualitas layanan kepada pelanggan tol. Tidak bisa dipungkiri, jalan tol penting, meski di sisi lain harus juga diakui kualitas pelayanannya belum optimal. Paling tidak, ini terlihat di manamana terjadi kemacetan. Jalan tol tidak bisa mengurai dan mereduksi kemacetan. Maka, tarif tol tak layak naik.
Hal ini mengindikasikan, peran dan fungsinya terabaikan. Fakta ini jelas merugikan pengguna tol. Paling tidak, jalur distribusi masih terkendala kemacetan. Dampak lain, pasokan barang jasa mempertinggi inflasi karena keterlambatan distribusi. Hal ini sejalan dengan teori ekonomi.
Fakta lain yang tidak bisa diabaikan dari kasus tol adalah bencana seperti yang terjadi di pintu keluar tol Brebes pada Lebaran 2 tahun lalu (kasus brexit) dan menimbulkan korban jiwa. Padahal semestinya keberadaan jalan tol mampu mendukung kelancaran arus mudik dan balik setiap Lebaran atau libur panjang lain. Hal ini tentu menjadi pembelajaran sangat penting karena pembangunan tol tidak hanya menambah ruas panjang dan lebar, tapi juga harus memperhatikan keamanan serta kenyamanan.
Anda mungkin tertarik:
Ini termasuk juga faktor tarifnya yang tidak cenderung naik, tapi mengesampingkan kepentingan publik. Maka, komitmen untuk penyesuaian tarif tiap 2 tahun semestinya diimbangi peningkatan kualitas layanan, utamanya menghilangkan kemacetan.
Harapan dari peran dan fungsi jalan tol tersebut ternyata memang belum maksimal. Hal ini tentu menjadi tantangan otoritas pengelola jalan tol sehingga jangan sampai dalih kenaikan tarif setiap 2 tahun menjadi peluang keuntungan sepihak kepada pengelola. Sementar itu, hak-hak pengguna jalan tol tak diberi maksimal.
Memberatkan
Persoalannya, jalan tol merupakan sarana yang tidak ada alternatif, meski bukan produk monopoli secara murni. Artinya, pengguna jalan terpaksa dan dipaksa menggunakan jalan tol dengan harapan bisa sedikit menghindari kemacetan, nyatanya tidak. Kenaikan tarif tol setiap 2 tahun sangat memberatkan pengguna jalan.
Penyesuaian tarif tol, termasuk per 8 Desember besok, tidak pernah melibatkan konsumen. Fakta ini secara tidak langsung menggambarkan, di era sekarang, konsumen masih tidak berkutik dengan regulasi penetapan tarif. Di sisi lain, keberadaan konsumen itu utama. Model seperti ini mengebiri hak-hak konsumen. Konsumen selalu kalah atau terpaksa mengalah.
Terlepas dari logika penyesuaian tarif tol, yang pasti, pemerintah tidak mengelak dari tuntutan pendanaan yang sangat besar. Paling tidak, ini terlihat pada agenda Indonesia International Infrastructur Conference and Exhibition 3-15 November 2013 lalu di Jakarta. Saat itu, pemerintah menawarkan 56 proyek senilai 44,8 miliar dollar AS.
Dari 56 proyek, 13 di antaranya terkait pembangunan jalan tol di sejumlah daerah. Pembangunan jalan tol diharapkan memperlancar arus lalu lintas dan perniagaan sehingga memperlancar distribusi. Ironisnya, makin banyak ruas tol dibangun, ternyata tidak signifikan mengurai kemacetan.
Filosofi urgensi jalan tol, mengurai kemacetan yang menjadisalah satu persoalan klasik perkotaan. Ini termasuk juga dampak sosial ekonomi kemacetan. Tidak dipungkiri daerah- daerah melakukan berbagai cara mereduksi kemacetan. Di antaranya, menerapkan sejumlah sistem satu arah (SSA).
Asumsinya, tidak terlepas dari fakta kian macetnya sejumlah jalan. Jika kemacetan terurai akan meningkatkan lalu lintas dan tentu beban jalan berkurang. Meski demikian, tentunya ada social cost yang harus dikaji agar kebijakan SSA tidak merugikan sisi lain.
Selain itu, pembangunan flyover dan underpass juga tidak bisa terlepas dari komitmen perkotaan untuk mereduksi kemacetan. Hal ini membenarkan, jalan tol h a n y a l a h bagian dari upaya mengurai dan mereduksi kemacetan, tapi berbayar.
Problem kemacetan selain berdampak negatif terhadap konsumsi BBM, ternyata juga mempengaruhi polusi udara dan kebisingan. Pembangunan jalur Transjakarta (BRT), Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ), Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT) salah satu agenda untuk mereduksi kemacetan dengan memanfaatkan moda transportasi massal.
Peran pembentukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek menjadi penting, setidaknya memetakan persoalan transportasi umum dan mencari solusi. Misalnya, kebutuhan angkutan umum dan optimalisasi pelayanan. Ini termasuk sinergi dengan otoritas pengelola jalan tol agar bisa mempertimbangkan urgensi kenaikan tariff secara berkala, sehingga tidak memberatkan publik.
Argumennya, pertambahan kendaraan di Jakarta setiap tahun mencapai 16 persen. Sementara itu, ruas jalan tidak bertambah signifikan. Mantan Gubernur Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, menegaskan bahwa jumlah kendaraan bermotor Jakarta dan sekitarnya bertambah 1.500 unit setiap hari: 1.200 motor dan 300 mobil.
Dengan kata lain, terjadi perbandingan deret ukur dan deret hitung yang berdampak kemacetan. Pengguna transportasi umum relatif rendah, hanya 24 persen dari total perjalanan warga Jakarta. Hal ini membenarkan, tol tidak signifikan mengurai kemacetan Jakarta, meski tarifnya naik terus berdalih peningkatan kualitas layanan.
Asa terhadap pemanfaatan moda transportasi massal tidak terlepas dari ancaman kemacetan. Bappenas menilai kerugian kemacetan Jakarta sekitar 5 miliar dollar AS atau 67 triliun rupiah. Tentu ini angka fantastis karena hampir mendekati APBD DKI Jakarta 2017 sebesar 71,89 triliun. Kenaikan tarif tol ternyata tidak mampu mereduksi kemacetan Jakarta.Penulis Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo