Koran-jakarta.com || Jum'at, 28 Mar 2025, 16:00 WIB

Riset: Pulau Jawa Produsen Sekaligus Konsumen Jejak Emisi Terbesar di Indonesia

  • emisi karbon

Riset: Pulau Jawa Produsen Sekaligus Konsumen Jejak Emisi Terbesar di Indonesia

Ket.

Doc: The Conversation Indonesia Riset: Pulau Jawa Produsen Sekaligus Konsumen Jejak Emisi Terbesar di Indonesia

Oleh  Fikri Muhammad, Climateworks Centre dan Djoni Hartono, Universitas Indonesia

Terkenal sebagai daerah kaya sumber daya alam, Pulau Sumatra dan Kalimantan dianggap menjadi kawasan penghasil emisi terbesar nasional. Sebab, di daerah-daerah tersebut banyak terjadi aktivitas perkebunan dan pertambangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat deforestasi untuk alih fungsi lahan.

Tapi jika ditelisik lebih jauh, jejak emisi dan dampak kerusakan lingkungan yang dihasilkan di daerah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari aktivitas perdagangan antardaerah. Wilayah lain konsumen hasil alam daerah sumber juga punya andil dalam jejak emisi dan kerusakan lingkungan.

Penelitian kami menganalisis bagaimana rekam jejak sebaran tiga jenis jejak lingkungan (environmental footprints) yakni air, penggunaan lahan, dan emisi gas rumah kaca—di berbagai provinsi di Indonesia. Kami mempertimbangkan sisi produksi atau lokasi di mana jejak lingkungan dihasilkan dan juga sisi konsumsi atau lokasi di mana jejak lingkungan dikonsumsi atau digunakan.

Jejak lingkungan ini menjadi indikator untuk menggambarkan dampak suatu aktivitas, baik konsumsi maupun produksi, terhadap lingkungan.

Riset kami menunjukkan, meskipun aktivitas pertanian banyak terjadi di Pulau Sumatra dan Kalimantan, secara keseluruhan produsen sekaligus konsumen jejak lingkungan terbesar di Indonesia adalah Pulau Jawa.

Kenapa Pulau Jawa?

Hasil studi menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi Indonesia, mencakup produksi produk maupun jasa, secara total menghasilkan jejak emisi gas rumah kaca sebesar 476 juta ton CO?eq (karbon dioksida ekuivalen). Lalu, produksi air sebanyak 105 miliar m³ dan penggunaan lahan pertanian seluas 60 juta hektare.

Dari total produksi tersebut, sekitar 415 juta ton CO?eq  emisi gas rumah kaca, 85 miliar m³ air, dan 50 juta hektare lahan pertanian dikonsumsi di dalam negeri. Sisanya, dikonsumsi oleh negara lain melalui ekspor.

Studi ini menggunakan model ekonomi yang menggabungkan analisis input-output antarwilayah atau Environmentally-extended Interregional Input Output tahun 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini memungkinkan kami untuk mengevaluasi distribusi spasial jejak lingkungan di berbagai provinsi di Indonesia.

Grafik di atas menggambarkan jejak lingkungan per kapita atau ukuran dampak lingkungan yang dihasilkan oleh setiap individu di tingkat provinsi. Jika titik berada di atas garis diagonal, maka jejak lingkungan lebih banyak dihasilkan dari proses konsumsi ketimbang produksi, begitu pun sebaliknya untuk titik yang berada di bawah garis. Kami membagi wilayah ke dalam enam kelompok pulau terbesar di Indonesia, yakni Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku & Papua, serta Bali & Nusa Tenggara.

Pada grafik emisi gas rumah kaca (paling kiri), terlihat bahwa kebanyakan provinsi berkumpul di sekitar garis diagonal, namun ada tiga titik ekstrem, yakni Pulau Jawa (penyumbang terbesar adalah DKI Jakarta) di titik tertinggi, baik dalam produksi maupun konsumsi.

Sedangkan titik ekstrem di bawah garis 45° merepresentasikan Banten (di Pulau Jawa) dan Kepulauan Riau (di Pulau Sumatra) sebagai wilayah yang memproduksi emisi jauh lebih besar dibanding konsumsi—hal ini sehubungan dengan banyaknya jumlah PLTU batu bara di Banten dan kawasan industri yang besar di Kepulauan Riau.

Sementara itu, pada grafik penggunaan air (tengah) dan lahan pertanian (kanan), distribusi titik-titik tersebut cenderung tersebar di bawah garis 45°. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pengekspor air dan lahan pertanian di tingkat global.

Data ini didukung oleh analisis gambar di bawah, yang menunjukkan distribusi jejak lingkungan dan kaitannya dengan perdagangan antardaerah. Aliran berwarna abu-abu muda menujukan konsumsi domestik, sedangkan aliran berwarna abu-abu tua menunjukkan dinamika impor-ekspor jejak lingkungan atau perdagangan antardaerah.

Temuan paling mencolok dari gambar tersebut adalah Pulau Jawa mendominasi produksi dan konsumsi barang produksi beremisi tinggi, penggunaan air, sekaligus menjadi eksportir jejak lingkungan terbesar. Sedangkan, Pulau Sumatra dan Kalimantan merupakan produsen utama jejak lahan pertanian dengan Pulau Jawa merupakan importir dalam negeri terbesar produk-produk intensif lahan pertanian.

Daerah kaya berkontribusi lebih besar pada perubahan iklim

Penelitian ini juga mencoba melihat korelasi antara konsumsi emisi gas rumah kaca, air, dan lahan pertanian dengan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, sebagai proksi tingkat pembangunan daerah.

Terlihat PDRB per kapita berbanding lurus dengan produksi emisi gas rumah kaca dan penggunaan air. Semakin tinggi pendapatan daerah, semakin banyak CO? yang dikonsumsi dan juga air yang digunakan.

Temuan ini sesuai dengan temuan di beberapa penelitian sebelumnya, di mana daerah yang lebih kaya, seperti daerah perkotaan, memiliki gaya hidup dan pola konsumsi yang lebih intensif emisi.

Kesimpulannya, peningkatan polusi CO? dan penggunaan air meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Dan meski tidak selalu bergantung pada pertanian, daerah kaya sumber daya alam mendatangkan produk-produk pertanian dari luar daerah untuk konsumsi mereka. Hal ini merupakan tantangan besar bagi Indonesia yang memiliki komitmen untuk mencapai emisi nol bersih setidaknya tahun 2060.

Implikasi terhadap kebijakan publik

Kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Sumatra dan Kalimantan, juga disebabkan tingginya konsumsi dan permintaan dari tempat lain, seperti Pulau Jawa.

Oleh karenanya, daerah-daerah yang merupakan produsen jejak lingkungan tinggi perlu mengimplementasikan kebijakan yang menyasar produsen, misalnya dengan menciptakan kawasan industri emisi nol bersih serta menegakkan atau mewajibkan standar lingkungan, seperti standar industri hijau yang lebih ketat dan mewajibkan eco-labelling.

Untuk daerah-daerah konsumen jejak lingkungan yang tinggi,  kebijakan harus dititikberatkan pada konsumsi dan pengadaan untuk memastikan kemudahan akses pada produk yang berkelanjutan, seperti subsidi barang rendah karbon atau, sebaliknya, pajak karbon.

Dua hal ini tentu relevan untuk Pulau Jawa karena pulau ini merupakan produsen dan konsumen jejak lingkungan terbesar di Indonesia.

Perlu dicatat bahwa kondisi ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang Jawa-sentris atau pola pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa. Saat ini, lebih dari setengah populasi di Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dengan kontribusi PDRB sekitar 55%.

Untuk itu, pemerintahan daerah terutama yang baru dilantik harus mereformasi tata kelola pemerintahan daerah dan membuahkan kebijakan-kebijakan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan.

Fikri Muhammad, Senior Analyst (Economics and Governance), Climateworks Centre dan Djoni Hartono, Associate Professor at the Department of Economics, Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia., Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Like, Comment, or Share:


Artikel Terkait