Kementan Tidak Berdaya Menekan Impor Kedelai
Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONES
» Impor kedelai dalam enam tahun terakhir rata-rata lebih dari dua juta ton per tahun.
» Kebijakan importasi hanya menguntungkan importir pencari rente, tetapi mencekik petani.
JAKARTA – Rencana Kementerian Pertanian (Kementan) untuk kembali mengimpor kedelai pada tahun ini 2,6 juta ton menunjukkan ketidakberdayaan lembaga tersebut mengatasi permintaan bahan baku dalam negeri, terutama komoditas pertanian.
Padahal, dalam acara rapat kerja nasional Pembangunan Pertanian 2021 di Istana Negara, pada Senin (11/1), Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengingatkan jajaran Kementerian Pertanian untuk mengatasi masalah impor pangan terutama kedelai, jagung, gula, beras, dan bawang putih.
Menanggapi rencana impor kedelai tersebut, Pakar Pertanian dari Universitas Trunojoyo Bangkalan, Madura, Ihsannudin, mengatakan impor adalah jalan pintas yang selalu dipilih pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi gejolak harga. Meskipun saat ini tidak terelakkan, pemerintah seharusnya mendorong pertanaman kedelai dalam negeri, dengan mendorong pemanfaatan hasil inovasi perguruan tinggi.
“Gejolak harga kedelai ini menjadi sesuatu yang membingungkan dan sering terulang hampir setiap tahun. Meskipun dalam jangka pendek sulit dihindari, dia berharap pemerintah jangan terpukau oleh impor sebagai cara instan mengatasi gejolak,” kata Ihsannudin.
Bagaimanapun, swasembada pangan harus diupayakan, untuk jangka panjang, terutama dengan mengoptimalkan beberapa varietas baru kedelai hasil inovasi perguruan tinggi.
“Jangan sampai inovasi mereka berhenti sampai di jurnal, tapi harus diuji dalam skala luas. Tentu ini butuh biaya dan keberpihakan pemerintah. Namun secara jangka panjang dapat mengatasi problem gejolak harga yang selalu terulang,” katanya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (13/1) Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan, Agung Hendriadi, mengatakan akan kembali mengimpor kedelai tahun ini 2,6 juta ton untuk bahan baku tempe dan tahu.
Dari perkiraan jumlah impor tersebut, sebanyak 650 ribu ton akan masuk hingga Maret 2021, sedangkan sisanya dilakukan secara bertahap hingga akhir tahun.
“Jadi, 2,6 juta ton hanya untuk bahan baku tempe dan tahu saja. Kalau ditotal impor kedelai termasuk untuk kebutuhan tepung dan industri lainnya mencapai lebih dari lima juta ton, tahun ini,” kata Agung.
Pada 2020 lalu, paparnya, untuk periode Januari–November, impor kedelai mencapai 2,31 juta ton senilai 931,83 juta dollar AS atau sekitar 13 triliun rupiah dengan asumsi kurs rupiah 14.000 per dollar AS. Jumlah tersebut hampir sama dengan impor kedelai sepanjang tahun 2019 sebanyak 2,67 juta ton dengan nilai 1,06 miliar dollar AS.
Segera Evaluasi
Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bhima Yudhistira Adhinegara, secara terpisah meminta pemerintah, khususnya Kementan, untuk memikirkan kepentingan swasembada pangan dalam jangka panjang, bukan solusi jangka pendek menstabilisasi harga yang malah menguntungkan importir pencari rente.
“Harga dalam jangka pendek bisa kembali stabil dengan membuka keran impor, namun masalah ketahanan stok kedelai di masa mendatang semakin menurun karena petani merasa kebergantungan pada impor makin besar. Jadi pemerintah sebaiknya segera mengevaluasi,” kata Bhima.
Kebijakan importasi yang selama ini tidak berpihak dan sangat merugikan para petani harus segera dibenahi.
“Kebijakan impor yang tidak sesuai hanya akan membuka celah kepada importir atau pencari rente untuk melakukan impor secara tidak sehat karena menyebabkan kerugian di tingkat petani dengan harga pembelian yang jatuh akibat impor,” tegas Bhima.
Kondisi tersebut, jelasnya, mendorong para petani untuk tidak menanam lagi komoditas impor dan beralih ke lainnya karena harga yang mereka terima saat panen lebih rendah dari biaya dan tenaga yang mereka keluarkan.
“Hal yang paling mengkhawatirkan, kalau petani frustasi dan mulai alih profesi. Akibatnya, produksi pertanian semakin menurun dan ketahanan pangan akan semakin terancam sulit direalisasikan,” katanya.
Bhima mengimbau agar pemerintah fokus memperbaiki tata niaga impor berdasarkan penggunaan data produksi dan konsumsi yang valid disertai analisis kajian yang objektif. n SB/ers/E-9
Submit a Comment