Wakil Rakyat di DPR Tidak Peka soal Penolakan Kenaikan Tarif PPN 12%
Rieke Diah Pita loka Anggota DPR RI - Saya merekomendasikan di rapat paripurna ini mendukung Presiden RI Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen.
Foto: antaraJAKARTA– Para pimpinan wakil rakyat di DPR dinilai tidak peka terhadap desakan yang kuat dari berbagai kalangan masyarakat yang menolak rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Bahkan, ketika Presiden Prabowo Subianto pun sudah berketetapan tidak akan mengubah tarif yang ada sekarang sebesar 11 persen, mereka malah mengusulkan agar tarif PPN 12 persen diberlakukan untuk kategori transaksi tertentu.
Ketua Komisi XI DPR RI, Muhammad Misbakhun, misalnya mengatakan Presiden RI Prabowo Subianto bakal menyiapkan kajian mengenai pengenaan pajak agar nantinya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak hanya berlaku dalam satu tarif.
Begitu pula dengan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan usulan penghitungan PPN agar tidak diterapkan dalam satu tarif itu diusulkan oleh DPR agar nantinya barang-barang seperti kebutuhan pokok dikenakan pajak lebih sedikit daripada yang saat ini ditetapkan.
Berbeda dengan dua wakil rakyat lainnya, anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menyampaikan interupsi saat rapat paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis (5/12), Rieke meminta pembatalan wacana kenaikan tarif pajak PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Dia mengatakan berdasarkan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, PPN dapat diubah bukan hanya paling tinggi menjadi 15 persen, melainkan bisa juga diubah paling rendah menjadi 5 persen.
“Keputusan naik tidaknya harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya,” kata Rieke.
Ia pun mengingatkan kalau persoalan fiskal dan moneter serta kehidupan masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan deflasi selama lima bulan yang terjadi harus diwaspadai agar tidak berdampak pada krisis ekonomi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Lebih lanjut, Rieke mengatakan masih banyak inovasi dan kreativitas untuk mencari sumber anggaran negara yang tidak membebani pajak rakyat dan membahayakan keselamatan negara.
“Saya merekomendasikan di rapat paripurna ini mendukung Presiden RI Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen sesuai dengan amanat Pasal 7 Ayat (3) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021,” katanya.
Dia juga meminta pemerintah menerapkan self assessment monitoring system (sistem pemantauan penilaian mandiri) dalam tata kelola perpajakan. Selain menjadi pendapatan utama negara, pajak juga bisa menjadi instrumen pemberantasan korupsi sekaligus strategi dalam melunasi semua utang negara.
Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Rizal Edi Halim, berharap pemerintah seharusnya menimbang kembali rencana tersebut, karena penolakan dari masyarakat luas cukup masif.
“Banyaknya penolakan dari berbagai kalangan menggambarkan besarnya kekhawatiran masyarakat terkait dampak dari kenaikan tarif PPN itu nantinya.
“Saya rasa sudah cukup banyak masukan dari banyak pemangku kepentingan, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan itu,”tegas mantan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) periode 2020–2023 tersebut.
Tidak Paksakan
Menurut Rizal, yang paling rasional saat ini adalah pemerintah tidak memaksakan kenaikan PPN jadi 12 persen. Hal itu lebih rasional demi menghindari dampak lebih buruk ke ekonomi, baik berupa kenaikan harga harga barang hingga pelemahan daya beli masyarakat.
Sementara itu, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan kekhawatiran itu cukup mendasar meskipun pemerintah telah menetapkan adanya barang tidak kena pajak yang terbebas atau dikecualikan dari PPN. Namun, potensi perubahan harga dari kenaikan tarif PPN juga bisa memberikan dampak yang relatif lebih luas.
“Apalagi kita tahu bisa memberikan dampak terutama untuk kelompok pendapatan menengah ke bawah,” kata Rendi.
Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE) Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, juga menyarankan pemerintah menunda penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi yang masih membayangi hingga tahun depan.
Menurutnya, kenaikan tidak hanya berisiko secara ekonomi, tetapi juga dapat memicu dampak sosial yang merugikan masyarakat luas.
“Dalam situasi sekarang yang masih belum menentu, bahkan sampai tahun depan, sebaiknya kenaikan PPN ke tarif 12 persen tidak diterapkan,” pungkas Aloysius.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Presiden Prabowo Pastikan Pembangunan IKN Akan Terus Berlanjut hingga 2029
- 2 Danantara Jadi Katalis Perekonomian Nasional, Asalkan...
- 3 Ekonom Sebut Pembangunan IKN Tahap II Perlu Pendekatan yang Lebih Efisien
- 4 Gugatan Lima Pasangan Calon Kepala Daerah di Sultra Ditolak MK
- 5 Uang Pecahan Seri Anak-Anak Dunia 1999 Tak Lagi Berlaku, Ini Cara Penukarannya
Berita Terkini
- Program Tiga Juta Rumah Topang Pertumbuhan Ekonomi Nasional
- Pemerintah Perlu Fokus Awasi Penyaluran Elpiji Subsidi
- Transformasi Keuangan, Holding UMi Bantu 1,84 Juta Nasabah Capai Level Baru
- Ironi, Pemerintah Akan Impor Daging dari India yang Belum Bebas PMK
- DeepSeek dan Qwen sebagai Simbol Revolusi AI Global