Kamis, 23 Jan 2025, 00:00 WIB

Transisi Energi Masih Bersifat Solusi Palsu

Pemerintah masih belum memiliki arah jelas terkait konsep transisi ke  energi baru dan terbarukan (EBT).

Foto: antara

JAKARTA - Pemerintah masih belum memiliki arah jelas terkait konsep transisi keenergi baru dan terbarukan (EBT). Hingga kini konsep ini masih berupa solusi palsu karena masih mengandalkan co-firing biomassa dan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Di sisi lain, roadmap program pensiun dini PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara sejauh ini masih belum jelas. Global Energy Monitor menunjukkan Indonesia masih mengoperasikan 249 PLTU dengan kapasitas terpasang sekitar 46 GW (giga waatt) pada 2023.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Atina Rizqiana menuturkan Co-firing kerap dipromosikan sebagai upaya menurunkan emisi karbon. Namun, data menunjukkan proses ini hanya mampu mengurangi emisi karbon dalam jumlah kecil, sementara polusi udara dari pembakaran biomassa tetap signifikan.

Menurut laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), co-firing di PLTU menghasilkan tambahan emisi metana dari biomassa yang tidak sepenuhnya terbakar, serta meningkatkan risiko alih fungsi lahan untuk memenuhi kebutuhan biomassa.

Teknologi CCS/ CCUS, di sisi lain, sering digembar-gemborkan sebagai solusi untuk menangkap emisi karbon dari pembangkit listrik berbasis fosil. Namun, teknologi ini belum terbukti efektif secara skala besar dan memiliki biaya implementasi sangat tinggi.

Global CCS Institute mencatat rata-rata biaya CCS berkisar antara 60-120 dollar AS per ton karbon yang ditangkap, membuat teknologi ini tidak layak secara ekonomi untuk diterapkan secara luas di Indonesia. Selain itu, banyak proyek CCS di dunia justru digunakan untuk Enhanced Oil Recovery (EOR), yang meningkatkan produksi minyak dan pada akhirnya menghasilkan emisi tambahan. Pendekatan ini mencerminkan inkonsistensi antara upaya pemerintah dalam transisi energi dan target pengurangan emisi karbon.

“Ketergantungan pada solusi palsu seperti co-firing dan CCS/ CCUS menunjukkan komitmen setengah hati pemerintah dalam menjalankan transisi energi yang sesungguhnya. Langkah ini tidak hanya berisiko menambah keluaran emisi, tetapi juga memperpanjang usia infrastruktur fosil yang seharusnya dipensiunkan," ucapnya dalam laporan Celios terkait 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Beban Hutan

Ketergantungan pada solusi palsu semakin memperbesar jurang antara komitmen internasional dan realitas domestik. Meskipun upaya hilirisasi dan ketahanan terlihat menjanjikan dalam narasi pemerintah, pendekatan ini gagal menjawab tantangan utama dari transisi energi yang berkeadilan. Tantangan ini semakin nyata ketika melihat risiko yang ditimbulkan oleh ekspansi biofuel dan ancaman deforestasi.

Direktur Sosio-Bioekonomi Celios, Fiorentina Refani mengungkap ekspansi sawit di Indonesia menjadi penyebab utama hilangnya tutupan hutan primer. Menurutnya, konversi hutan menjadi monokultur sawit menghilangkan fungsinya dalam daur karbon, penahan erosi, dan penjaga siklus hidrologi.

Peningkatan produksi biofuel berbasis sawit yang diusung pemerintah, termasuk target bauran biodiesel B40 pada 2025 dan B50 pada 2026, akan membutuhkan tambahan lahan sawit yang signifikan. Perhitungan menunjukkan kebutuhan hingga 9,29 juta hektar lahan baru, setara dengan 70 persen luas perkebunan sawit pada 2019.

Risiko deforestasi ini semakin diperparah dengan tidak diperpanjangnya moratorium sawit yang berakhir pada 2021.

Seperti diketahui, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Bahlil Lahadalia mengungkapkan pemanfaatan biodiesel dengan mempergunakan minyak kelapa sawit (CPO) menjadi salah satu strategi peta jalan ketahanan energi.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: