Jum'at, 20 Des 2024, 01:15 WIB

Rupiah Semakin Tidak Bernilai

Siprianus Jemawut Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat Institut Sahnti Buana, Bengkayang - Melemahnya rupiah ini kan berarti inflasi, harga-harga barang menjadi lebih mahal.

Foto: istimewa

JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah melemah tajam hingga 215 poin atau 1,34 persen menjadi Rp16.313 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.098 per dolar AS. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis, turut mengalami pelemahan ke level Rp16.277 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.100 per dolar AS Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, di Jakarta, Kamis (19/12) mengatakan, rupiah diperkirakan akan terus melemah terhadap dolar AS pasca-pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) dimana The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 bps (basis points).

 Namun Kepala The Fed, Jerome Powell memberikan pernyataan yang sangat hawkish akan prospek suku bunga dengan mengindikasikan hanya akan terjadi pemangkasan sebesar 50 bps tahun depan, turun dari 75-100 bps perkiraan sebelumnya,” ujarnya seperti dikutip Antara. Menurutnya, The Fed memberikan hal tersebut karena proyeksi pertumbuhan ekonomi AS yang lebih tinggi dari 2 persen menjadi 2,5 persen. Selain itu juga inflasi inti Personal Consumption Expenditure (PCE) yang diperkirakan berkisar 2,4-2,8 persen, masih di atas target 2 persen.

“The Fed juga mengantisipasi kemungkinan kebijakan tarif Trump tahun depan,” ungkap dia. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics anf Finance (Indef) Esther Sri Astuti memprediksi ke depan rupiah juga akan melemah, selain karena pernyataan The Fed tersebut, ada beberapa faktor yang membuat rupiah melemah. Pertama karena tahun depan jatuh tempo cicilan utang 800 trilliun rupiah. Kemudian, ada penerbitan surat berharga negara (SBN) sekitar 500 trilliun rupiah di tahun yang sama.

Selanjutnya, karena sumbangan ekspor dan investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) belum signifikan. “PDB masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga,” papar Esther yang juga akademisi di Universitas Diponegoro (Undip). Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat Institut Sahnti Buana, Bengkayang, Kalbar, Siprianus Jemawut mengatakan, tajamnya pelemahan rupiah terhadap dollar AS membuat rupiah semakin tidak bernilai. Hal ini diperparah dengan naiknya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per Januari 2025. “Melemahnya rupiah ini kan berarti inflasi, harga-harga barang menjadi lebih mahal. Rupiah semakin tidak bernilai. Hal ini diperparah lagi dengan naiknya tarif PPN menjadi 12 persen. Lengkap sudah,” kata Siprianus.

Lakukan Penyelesaian

 Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendi Manilet mengatakan, memang investor kemudian melakukan penyesuaian portofolio merespon apa yang disampaikan oleh Gubernur Bank Sentral AS.

“Artinya, dengan pernyataan bahwa suku bunga acuan hanya dipangkas sedikit lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya maka ada prakiraan dari investor mereka masih akan relatif untung jika menempatkan dana investasi mereka ke pasar safe heaven seperti AS,”ucapnya Apalagi kalau diperhatikan saat ini dinamika politik AS juga bisa mendorong kebijakan yang sifatnya tidak menentu dan saya kira itu yang kemudian juga masuk ke dalam pertimbangan Bank Sentral AS ketika menetapkan atau menyampaikan proyeksi kebijakan yang akan mereka jalankan ke depan. 

“Dalam kondisi tertentu BI juga masih punya pilihan kebijakan seperti melakukan intervensi di pasar valas misalnya. Langkah itu akan diambil apabila sekali lagi ternyata nilai tukar Rupiah mengalami pelemahan lebih dalam dibandingkan kondisi saat ini,”pungkasnya.

Sudah Terbaca Pakar ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan, penurunan tajam rupiah hari ini, Kamis (19/12), merupakan puncak dari indikasi keluarnya modal asing yang telah lama berlangsung dan diperparah oleh faktor eksternal seperti pernyataan The Fed. “Memang anjloknya rupiah dari sebelumnya sempat membaik di 15.900 tiba-tiba hari ini sampai 16.300 bisa dikatakan anomali dan tidak umum. Ini merupakan reaksi pasar yang merasa tidak sesuai ekspektasi penurunan suku bunga The Fed tahun depan yang cukup jauh dari perkiraan,” kata Leo.

 Anomali hari ini, menurutnya juga merupakan penumpukan dari indikasi yang sudah terbaca sejak sekitar lima bulan yang lalu, saham asing banyak yang keluar dari waktu ke waktu, sehingga banyak yang menukarkan rupiah ke dolar. Seperti biasanya indeks pasar saham merupakan indikasi yang bisa dijadikan dasar prediksi. Hal itu diperparah dengan pernyataan The Fed, ditambah pelemahan sejumlah mata uang negara-negara emerging seperti Brazil. Seperti kita ketahui, emerging economy seperti Indonesia dan Brazil rentan terhadap dinamika global,” tuturnya. Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, menilai pelemahan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni eksternal dan internal.

 “Karena sistem kita ini diambangkan, maka faktor eksternal sangat berpengaruh. Ketika ada perubahan di pucuk pimpinan AS, portofolio investasi bisa berubah dengan cepat,” ujarnya. Namun, ia juga memberi penekanan pada sisi internal yang dianggapnya lebih miris. “Simbol kredibilitas seperti ruang Gubernur BI yang diusut KPK menimbulkan pertanyaan besar. Di negara lain, pucuk pimpinan seperti The Fed dijaga kredibilitasnya. Ketika hal seperti ini terjadi, pasar mulai meragukan apakah nilai rupiah benar-benar mencerminkan fundamental ekonomi kita,” tegas Maruf. Seperti diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa beberapa ruang di Gedung BI terkait dugaan korupsi dana CSR . Salah satu ruang yang diperiksa adalah ruang Gubernur BI.

Redaktur: M. Selamet Susanto

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: