Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hambatan Ekonomi I "Booming" Komoditas Hanya Dinikmati Kelompok Tertentu

“Rent Seeking" Penyebab “Dutch Disease" Mengakar Subur di Indonesia

Foto : Sumber: The Global Competitiveness Report 2023
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Perburuan rente yang dilakukan segelintir kelompok tertentu dinilai sebagai penyebab penyakit Belanda atau "Dutch disease" mengakar subur di Indonesia. Praktik ini telah berlangsung lama dengan kemampuan mereka mempengaruhi bank agar menjalankan fungsi intermediasi lebih besar ke sektor konsumtif dan pembiayaan properti yang semakin menggelembung (bubble).

Di sisi lain, birokrasi yang berjalan menyebabkan sistem ekonomi biaya tinggi atau high cost economy system. Kondisi tersebut makin diperparah dengan aparat penegak hukum yang korup, sehingga tidak ada kepastian hukum yang mematikan daya saing industri, pertanian, dan mengerdilkan pengembangan inovasi teknologi nasional.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan "Dutch disease" sudah berkali-kali menginveksi perekonomian nasional karena dibutakan dengan booming harga komoditas tertentu, seperti booming harga minyak di masa lalu, kemudian kelapa sawit, batu bara, dan nekel beberapa waktu lalu.

Lonjakan harga komoditas tersebut tidak memberi manfaat yang maksimal kepada negara, karena kelompok-kelompok pengusaha yang bergerak di sektor itulah yang menikmati lonjakan harga tersebut.

"Kita harus belajar dari kesalahan di masa lalu, penting bagi pemerintah memperkuat industri manufaktur sebagai penopang perekonomian nasional, karena sumber daya alam berbasis fosil terbatas," kata Badiul.

Manufaktur penting karena hanya sektor itulah yang mampu membuka lapangan kerja yang lebih banyak, terlebih Indonesia dihadapkan pada tantangan bonus demografi. Angkatan kerja Indonesia diperkirakan pada 2030 mencapai 201,1 juta orang dan tahun 2050 sebesar 212,5 juta orang.

"Mereka ini harus diserap oleh manufaktur dan pendapatannya secara perlahan mulai meningkat dan pada akhirnya akan menjadi kekuatan ekonomi untuk mengangkat perekonomian nasional ke level yang lebih tinggi," kata Badiul.

Atasi Deindustrialisasi

Dari Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan setelah terjebak lama dalam middle income trap, Indonesia membutuhkan langkah-langkah yang tepat untuk menuju Indonesia Emas 2045, yakni menjadi negara berpendapatan tinggi.

"Tentu, deindustrialisasi yang terjadi secara prematur harus diatasi. Reindustrialisasi menjadi krusial dan harus benar-benar diurus agar punya kontribusi yang signifikan dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Kebijakan ini harus jelas agar tidak sekadar berlindung di balik argumen hilirisasi khususnya sumber daya mineral yang ketersediaannya pun makin terbatas," papar Aloysius.

Hal lain, kata Aloysius, adalah pembenahan aspek-aspek kelembagaan yang dalam hampir satu dekade terakhir mengalami kemerosotan dan merusak serta menghambat inovasi-inovasi yang mendasar. Kelembagaan itu harus pula dilihat sebagai soft infrastructure yang lebih menjamin kontinuitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi dengan juga memanfaatkan hard infrastructure, seperti sarana transportasi yang sudah lebih baik.

"Reindustrialiasi maupun pembenahan kelembagaan ini juga perlu terjadi di level yang lebih rendah dan lebih merata di semua wilayah. Kebijakan-kebijakan untuk semua ini haruslah yang terukur, tepatnya yang bisa direalisasikan sesuai keterbatasan dan perubahan-perubahan yang terus terjadi," papar Aloysius.

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, mengatakan Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa, termasuk berbagai jenis hasil tambang yang dapat memberi dampak signifikan bila dikelola untuk memberi nilai tambah secara mandiri.

"Sebagian besar tambang kita masih diekspor mentah atau setengah jadi. Padahal secara teknis hampir tidak ada kendala dalam menerapkan hilirisasi karena teknologinya semakin murah. Untuk itu, kepercayaan investor harus ditumbuhkan dengan berbagai kemudahan," kata Imron.

Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengakui bahwa ekonomi Indonesia sudah sangat lama bergantung pada ekspor komoditas atau "Dutch disease".

"Itu sudah lama terjadi di Indonesia bahwa pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh komoditas. Jadi, ini sangat kelihatan, ketika harga komoditas menurun maka pertumbuhan ekonomi kita melambat. Hal yang perlu dilakukan adalah reindustrialisasi agar bisa keluar dari fenomena 'Dutch Disease',"tegas Riefky.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top