“Rent Seeking" Penyebab “Dutch Disease" Mengakar Subur di Indonesia
Hal lain, kata Aloysius, adalah pembenahan aspek-aspek kelembagaan yang dalam hampir satu dekade terakhir mengalami kemerosotan dan merusak serta menghambat inovasi-inovasi yang mendasar. Kelembagaan itu harus pula dilihat sebagai soft infrastructure yang lebih menjamin kontinuitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi dengan juga memanfaatkan hard infrastructure, seperti sarana transportasi yang sudah lebih baik.
"Reindustrialiasi maupun pembenahan kelembagaan ini juga perlu terjadi di level yang lebih rendah dan lebih merata di semua wilayah. Kebijakan-kebijakan untuk semua ini haruslah yang terukur, tepatnya yang bisa direalisasikan sesuai keterbatasan dan perubahan-perubahan yang terus terjadi," papar Aloysius.
Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, mengatakan Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa, termasuk berbagai jenis hasil tambang yang dapat memberi dampak signifikan bila dikelola untuk memberi nilai tambah secara mandiri.
"Sebagian besar tambang kita masih diekspor mentah atau setengah jadi. Padahal secara teknis hampir tidak ada kendala dalam menerapkan hilirisasi karena teknologinya semakin murah. Untuk itu, kepercayaan investor harus ditumbuhkan dengan berbagai kemudahan," kata Imron.
Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengakui bahwa ekonomi Indonesia sudah sangat lama bergantung pada ekspor komoditas atau "Dutch disease".
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Vitto Budi
Komentar
()Muat lainnya