Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Petaka di Balik Baunya Limbah Padat Non-B3 Bernilai Ekonomi

Foto : Istimewa

Ilustrasi limbah berbahaya di tempat pembuangan sampah.

A   A   A   Pengaturan Font

Bagong mengatakan kondisi pengelolaan sampah komunitas ini menimbulkan kegerahan sejumlah pejabat Pemda, terutama Dinas LH, Satpol PP, dan lainnya. Kemudian Dinas LH menambah armada truk sampah, misal 30-50 unit per tahun. Sampah yang dikelola komunitas "direbut" orang-orang atas nama Pemda melalui UPTD wilayah tingkat kecamatan dengan berbagai cara. Katanya, memang itu tugasnya.

Contoh pengenakan biaya kebersihan sampah, misal orang-orang Pemda mengena uang retribusi 7.000 rupiah/rumah/bulan, sedang komunitas menarik uang jasa 20.000 rupiah sampai 50.000 rupiah/rumah/bulan. Akibatnya, klien pengolah sampah komunitas perlahan pindah dan habis.

Sampah yang berhasil direbut dibawa dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), dan ada beberapa yang tidak sampai, ternyata dibuang di pinggir sungai pada malam hari. Sampah itu dari hasil perebutan tidak olah, hanya dibuang ke TPA dan kini menjadi gunung-gunung sampah.

Hasilnya, tambah Bagong, per 26 November 2021 TPA itu penuh sampah dan stagnan, tak mampu melayani sampah yang masuk, misal TPA Burangkeng, TPA Sumurbatu. Sedangkan Tangsel harus membuang sampahnya ke wilayah tetangganya. Bagian dari kegagalan mengelola sanmpah kota. Pendekatan dan strategi konvesnional menjadi kenyataan permanen dan TPA amburadul.

Para sopir truk (baru) sampah harus setor ke "majikan" orang Pemda sekitar 10-12 juta rupiah/bulan. Sehingga para pemegang truk bekerja keras untuk mendapatkan setoran. Mereka takut sama bosnya, notabene pejabat dinas Pemda. Inilah cerita di berbagai tempat komunitas pengolah sampah yang direbut oleh orang-orang Pemda.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top