Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 29 Nov 2021, 18:43 WIB

Petaka di Balik Baunya Limbah Padat Non-B3 Bernilai Ekonomi

Ilustrasi limbah berbahaya di tempat pembuangan sampah.

Foto: Istimewa

BEKASI - Limbah berbahaya dan beracun (B3), limbah padat non-B3 atau sampah rumah tangga merupakan sumberdaya. Semua punya nilai ekonomis. Limbah ini diperebutkan banyak pihak. Perebutan limbah dan wilayahnya berulang-kali diperagakan dengan model kekerasaan ramai diberikan berbagai media massa belakangan.

"Urusan limbah tidak bisa dianggap remeh. Complacated, rumit dan seringkali mengerikan. Perebutan limbah bisa mengakibatkan cacat tubuh. Bisa pula berujung maut. Limbah kawasan industri menjadi perburuan dan rebutan antar organisasi dan kelompok-kelompok tertentu,' kata Ketua Koalisi Persampahan Nasional, Bagong Suyoto dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Koran Jakarta, Senin (29/11).

Menurut Bagong, di dalamnya ada andil perusahaan dan pengusaha limbah. Pasti mereka punya massa, kekuatan dan modal besar. Kekuatan itu menggambarkan keperkasaan pemilik modal besar dan para jawara. Kekuatan itu bisa nyata, seperti sebilah pisau, pedang, samurai atau benda keras lainnya dan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, melainkan juga bisa ada kekuatan gaib.

"Justru kekuatan gaib ini yang sering jadi andalan serta sangat menakutkan. Bulu kuduk jadi merinding. Sulit dibayangkan oleh mata telanjang. Ada ion, ruh kesaktian. Para jawara memiliki networking luas dan para guru dan mahaguru nan ampuh dan dikdeng/digjaya," kata Bagong.

Kekuatan jawara ini muncul, tambah dia, ketika menakhlukan pesaing atau lawan. Soal tindak kekesaran, kasar terhadap lawan sudah lazim. Kasus perebutan penguasaan area dan limbah terjadi di kawasan-kawasan industri, antara lain Tambun, Cikarang, Bekasi, Karawang.

Limbah yang menjadi rebutan itu, tambah Bagong, popular dengan sebutan limbah padat bernilai ekonomi non-B3. Ada daerah yang mengaturnya. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi No. 9/2007 tentang Izin Pengelolaan Limbah Padat Bukan Berasal Dari Bahan Berbahaya dan Beracun (Non-B3) Yang Bernilai Ekonomis (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2007).

Bagong menjelaskan ada orang-orang Dinas di Kabupaten Bekasi yang ikut bermain di sektor limbah padat bernilai ekonomi, dengan menggunakan pengangkutan truk-truk Pemda. Karena memang ada uangnya. Masukan uang tiap bulan pasti. Apakah uang tersebut masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD) atau masuk ke kantong pribadi? Konteks ini perlu diteliti lebih dalam. Mestinya perlu ada audit khusus. Transparansi anggaran harus diterapkan di sini.

Kasus perebutan sampah, tambah dia, bisa terjadi di wilayah Jabodetabek dengan model yang sama atau berbeda. Ada yang tampak vulgar, kasar dan ada yang perlahan tersembunyi. Orang-orang Pemda menggunakan tangan-tangan warga, organisasi pemuda, ketua lingkungan.

Tentu berbeda dengan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang diatur dalam UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Pemerintah No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, dll. Di sini pun ada perebutan antara pemerintah kabupaten/kota versus komunitas pengolah sampah.

Model perebuatan, pihak komunitas warga melakukan kerja sama dengan pihak real estate/ perumahan, pasar, mal, restaurant atau lainnya. Sampah diangkut ke tempat yang disediakan tiap hari atau berapa hari sekali, kemudian dipilah diambil sampah an-organiknya, seperti berbagai jenis plastik, kertas, logam, beling, karet, busa, dan kayu.

Bisa dikatakan komunitas mengolah sampah di sumber. Juga mengurangi, memilah sampah dan menyediakan bahan baku sektor industri daur-ulang. Jelas, komunitas ini mengembalikan sampah jadi sumberdaya (return of resources). Kegiatan tersebut bagian dari pendekatan dan strategi circular economy yang digalakkan pemerintah di seluruh dunia, seperti Jerman, Austria, Inggris, Belanda, Singapore, bahkan Indonesia. Sekarang CE menjadi tren menarik.

Circular Economy Action PlanFor a cleaner and more competitive Europe (EU, 2020) menyatakan This Circular EconomyAction Plan memberikan agenda berorientasi masa depan untuk manfaat yang lebih bersih dan lebih kompetitif untuk Eropa dalam kreasi dengan aktor-aktor ekonomi, konsumen, warga dan organisasi masyarakat sipil.

Rencana ini bertujuan mempercepat perubahan transformasi yang minta oleh European Green Deal, ketika membangun aksi-aksi implementasi circular economy sejak tahun 2015. Rencana ini memperkuat kerangka regulasi yang ditekankan dan membuat suatu masa depan berkelanjutan. Bahwa peluang-peluang baru dari transisi adalah maximized, sementara minimizing menjadi beban manusia dan bisnis.

Sedang sampah organik yang bercampur sampah plastik bentuk kecil-kecil dan lainnya ditumpuk saja, kadang-kadang diratakan dan dibakar. Lama-lama menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan warga. Jikalau sampah organiknya diolah jadi kompos, maka yang tersisa semakin sedikit. Masalah lain adalah banyaknya plastik sachet dan plastik kecil-kecil yang tidak diambil karena tak ada nilai jual, jumlahnya cukup banyak. Lama-lama menumpuk dan mengotori lahan. Warga sekitar bisa protes.

Mestinya, tambah Bagong, pengolahan sampah komunitas dijadikan Pusat Daur Ulang (PDU) atau TPS 3R agar terjadi sinergi dan kolaborasi. Selanjutnya didukung infrastruktur dan teknologi. Sayangnya, keberadaan PDU/TPS 3R masih belum diminati, malah seakan menghantui sejumlah pejabat di daerah tertentu.

Bagong mengatakan kondisi pengelolaan sampah komunitas ini menimbulkan kegerahan sejumlah pejabat Pemda, terutama Dinas LH, Satpol PP, dan lainnya. Kemudian Dinas LH menambah armada truk sampah, misal 30-50 unit per tahun. Sampah yang dikelola komunitas "direbut" orang-orang atas nama Pemda melalui UPTD wilayah tingkat kecamatan dengan berbagai cara. Katanya, memang itu tugasnya.

Contoh pengenakan biaya kebersihan sampah, misal orang-orang Pemda mengena uang retribusi 7.000 rupiah/rumah/bulan, sedang komunitas menarik uang jasa 20.000 rupiah sampai 50.000 rupiah/rumah/bulan. Akibatnya, klien pengolah sampah komunitas perlahan pindah dan habis.

Sampah yang berhasil direbut dibawa dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), dan ada beberapa yang tidak sampai, ternyata dibuang di pinggir sungai pada malam hari. Sampah itu dari hasil perebutan tidak olah, hanya dibuang ke TPA dan kini menjadi gunung-gunung sampah.

Hasilnya, tambah Bagong, per 26 November 2021 TPA itu penuh sampah dan stagnan, tak mampu melayani sampah yang masuk, misal TPA Burangkeng, TPA Sumurbatu. Sedangkan Tangsel harus membuang sampahnya ke wilayah tetangganya. Bagian dari kegagalan mengelola sanmpah kota. Pendekatan dan strategi konvesnional menjadi kenyataan permanen dan TPA amburadul.

Para sopir truk (baru) sampah harus setor ke "majikan" orang Pemda sekitar 10-12 juta rupiah/bulan. Sehingga para pemegang truk bekerja keras untuk mendapatkan setoran. Mereka takut sama bosnya, notabene pejabat dinas Pemda. Inilah cerita di berbagai tempat komunitas pengolah sampah yang direbut oleh orang-orang Pemda.

Pemerintah pusat, tambah dia, sebetulnya sudah tahu, cuma malu mengatakan, bahwa ada orang-orang di dinas Pemda yang sedang menjadi masalah. Bahkan memperkusut masalah. Sehingga sulit mengatasinya. Mereka ikut berdagang sampah, belum lagi memperebutkan proyek-proyek sampah bersama para penguasa dan pengusaha daerah.

Penyelesaian urusan limbah atau sampah ini kunci jawabannya dipegang para penguasa daerah dan pemerintah pusat. Mereka tidak perlu diajari, lebih jago menghadapi situasi tersebut. Jika mereka bijaksana, pro-rakyat, pro-daerah dan pro-lingkungan maka akan mudah menyelesaikan urusan limbah atau sampah yang masih carut marut, seringkali menyulut kekerasan dan korban nyawa.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Marcellus Widiarto

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.