Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 06 Feb 2025, 01:15 WIB

Peningkatan PDB Per Kapita Hanya Dinikmati Sebagian Kecil Kelompok Ekonomi

Achmad Maruf Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) - PDB per kapita bisa menjadi jebakan indikator makro jika tidak disandingkan dengan angka ketimpangan seperti Gini Ratio.

Foto: antara

JAKARTA - Badan Pusat Statistik pada Rabu (5/2) menyatakan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2024 mencapai 78,62 juta atau 4.960,33 dollar Amerika Serikat (AS) naik dibanding pencapaian pada 2023 sebesar 75 juta rupiah. 

Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam keterangannya di Jakarta, menyatakan bahwa PDB per kapita menjadi salah satu indikator tidak langsung dari besaran pendapatan per kapita, sehingga sering digunakan untuk menilai tingkat kemakmuran suatu wilayah.

Adapun nilai PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) pada tahun lalu mencapai 22.138,96 triliun rupiah meningkat dari 20.892,4 triliun rupiah pada 2023. Meskipun capaian PDB dan PDB per kapita meningkat, ia menyatakan bahwa perekonomian Indonesia secara kumulatif (c-to-c) tumbuh melambat pada 2024 dibandingkan pada 2023.

“Ekonomi Indonesia tahun 2024 tumbuh sebesar 5,03 persen, melambat dibanding capaian tahun 2023 yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,05 persen,” kata Amalia.

Pelambatan pertumbuhan tersebut sejalan dengan prediksi International Monetary Fund (IMF) yang memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara berkembang diperkirakan melambat ketimbang 2023 tetapi masih lebih tinggi daripada capaian global.

Proyeksi terbaru IMF per Januari 2025 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara berkembang turun menjadi 4,2 persen pada 2024 dari 4,4 persen pada 2023. Begitu juga ekonomi global yang diprediksi turun ke level 3,2 persen dari sebelumnya 3,3 persen.

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf mengatakan PDB per kapita bisa menjadi jebakan indikator makro jika tidak disandingkan dengan angka ketimpangan seperti Gini Ratio, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Indeks Kebahagiaan.

“PDB per kapita tidak menggambarkan situasi riil di masyarakat jika tidak dibandingkan dengan angka Gini Ratio. Malah indikator makro ini bisa menjadi jebakan kalau dijadikan rasio utang, seakan-akan kemampuan utang kita meningkat, padahal negara sebenarnya rapuh,” jelas Maruf.

Dalam konteks ketimpangan ekonomi, Achmad Maruf mencontohkan daerah Konawe di Sulawesi Tenggara yang memiliki angka PDB besar akibat ekspor nikel yang tinggi.

“Daerah seperti Konawe yang menjadi pusat ekspor nikel tentu memiliki PDB tinggi, apakah benar masyarakatnya menikmati pendapatan sebesar itu? Ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan masih menjadi masalah yang perlu diperhatikan,” tambahnya.

Kesejahteraan masyarakat juga tidak hanya bisa diukur dari nilai PDB per kapita, tetapi harus mempertimbangkan pula ketimpangan ekonomi, akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, serta tingkat kebahagiaan warga.

Jika ketimpangan tinggi dan IPM rendah, maka kenaikan PDB per kapita bisa jadi hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok ekonomi, sementara mayoritas masyarakat tidak merasakan dampaknya.

Kenaikan PDB per kapita jelasnya bisa menjadi indikator positif bagi perekonomian nasional, namun jika tidak diiringi distribusi yang merata, angka tersebut hanya sekadar ilusi kemajuan. Pemerintah perlu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya bersifat agregat, tetapi benar-benar berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat secara luas.

Derajat Penghisapan

Dihubungi terpisah,Peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa mengatakan bahwa praktik perekonomian di Indonesia sangat kental dengan “derajat penghisapan”. Kelompok konglomerat tertentu menghisap begitu banyak sumber-sumber ekonomi negara.

PDB per kapita yang dipaparkan BPS menurut Awan belum sepenuhnya dapat menjadi cerminan kesejahteraan rakyat. Mesti dilihat dulu kontribusi ekonomi rakyat dalam struktur PDB tersebut serta dikomparasikan dengan pengeluaran per kapita.

“Sesuai teori Prof. Mubyarto, jika PDB per kapita tinggi tetapi pengeluaran per kapita rendah maka itu mengindikasikan "derajat penghisapan" yang tinggi di Indonesia,"tegas Awan.

Ketimpangan dalam struktur PDB terlihat dari 0,01 persen usaha besar menguasai hampir 40 persen PDB Indonesia, sementara UMKM yang meliputi 99 persen lebih pelaku ekonomi Indonesia hanya menguasai 60,51 persen saja dari PDB.

“Intinya distribusi kekayaan itu tidak ada. Ketimpangan masih lebar, dilihat juga dari penguasaan aset, lahan, dan simpanan di bank,”papar Awan.

Sementara itu, Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Eugenia Mardanugraha mengatakan, PDB per kapita di negara berkembang pasti meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang positif. PDB per kapita jelasnya tidak dapat menunjukkan berapa pendapatan masyarakat kelas bawah, kelas menengah dan atas.

“Kalau dikelompokan pasti akan terlihat ketimpangannya,” kata Eugenia.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.