Pengurangan Bahan Bakar Fosil untuk Capai Target Bauran EBT
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Lahendong, Sulawesi Utara sebagai salah satu pembangkit yang memasok listrik berbasis EBT.
JAKARTA - Pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) penting diselaraskan dengan upaya pengurangan konsumsi bahan bakar fosil untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.
"Target bauran energi (baru dan terbarukan) ini kan kalau kita bicara persentase ya. Artinya, kalau kita meningkatkan EBT, tapi (konsumsi) migas (minyak dan gas) dan batu bara itu juga meningkat itu kan tetap aja persentase baurannya stagnan," kata pejabat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pandu Ismutadi, di Jakarta, Selasa (14/11).
Pandu yang menjabat sebagai Inspektur Panas Bumi Ahli Madya Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi dalam sesi diskusi yang dipantau secara daring mengatakan dalam upaya menaikkan tingkat bauran EBT perlu diiringi juga oleh pengurangan penggunaan bahan bakar minyak dan batu bara. "Makanya strategi ini harus dijalankan bareng-bareng," ucap Pandu.
Pandu menyebutkan langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam mengurangi konsumsi bahan bakar fosil antara lain dengan menggunakan kompor induksi untuk memasak, memanfaatkan kendaraan dengan sumber energi listrik, dan penambahan transportasi publik secara masif.
"Jadi tidak semata-mata hanya kita membangun pembangkit EBT dan mencampurkan biodiesel. Itu harus dua sisi ya, artinya kita menurunkan (konsumsi energi) di non-EBT, tapi tetap menaikkan (pemanfaatan energi) di sisi EBT," ujar Pandu.
Potensi EBT
Indonesia memiliki potensi EBT yang berasal dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi, dan juga laut dengan total potensinya mencapai 3.689 gigawatt (GW).
Potensi EBT tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia seperti potensi hidro tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan Utara, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Papua.
Potensi panas bumi tersebar pada kawasan ring on fire meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Kemudian, potensi surya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, dan Riau yang memiliki radiasi lebih tinggi.
Sebelumnya peneliti ekonomi lingkungan dan pendiri Think Policy, Andhyta Firselly Utami, mendorong perbankan di Tanah Air agar meningkatkan pendanaan untuk proyek-proyek EBT guna mendukung terwujudnya zero emisi karbon pada 2050.
"Perbankan memiliki peran dalam mendukung proyek-proyek yang berfokus pada energi terbarukan, efisiensi energi, dan tata kelola perusahaan yang baik," ujar Andhyta.
Ia mengatakan, Indonesia saat ini sedang bergerak menuju pembiayaan berkelanjutan dengan berbagai inisiatif dari pemerintah dan perusahaan swasta. Beberapa bank telah mengadopsi praktik keuangan berkelanjutan, termasuk penerbitan obligasi hijau atau green bonds untuk mendukung proyek-proyek berkelanjutan.
Redaktur : Marcellus Widiarto
Komentar
()Muat lainnya