![](https://koran-jakarta.com/img/site-logo-white.png)
Pengelolaan Bank BUMN Tak Optimal
Foto: IstimewaPeran bank-bank BUMN sampai saat ini dinilai belum mampu memompa likuiditas ke sektor-sektor perekonomian.
JAKARTA - Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk bank, saat ini dianggap salah kaprah. Hal ini disebabkan pembantu Presiden yang membidangi perusahaan berpelat merah tersebut dinilai tak memiliki kompetensi.
"Bagaimana kita mau bicara pertumbuhan ekonomi 6-7 persen kalau jantung ekonominya (bank-red) tidak mampu memompa likuiditas ke sektor-sektor perekonomian," kata Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, saat berbicara dalam seminar yang digelar Indef, di Jakarta, Rabu (22/11).
Menurut Faisal, kontribusi kredit perbankan dalam negeri membiayai sektor-sektor ekonomi hanya 39 persen lebih, sedangkan di negara-negara lain seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang bahkan di atas 100 persen. "Mudah-mudahan Presiden mengganti pembantunya yang tidak mengerti bagaimana cara mengurus bank BUMN dan mengganti dengan figur-figur yang memiliki kompetensi," kata Faisal.
Dalam kesempatan itu, dia menyoroti kebijakan moneter Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang dipimpin Agus Martowardojo menurunkan suku bunga acuan berturut-turut yang berakibat pada rupiah melemah.
"Imbauan Presiden yang meminta bank sentral menurunkan bunga direspons pejabatnya karena masa jabatannya hampir berakhir, akibatnya memukul rupiah," kata Faisal.
Dia pun mengkritisi kebijakan Presiden Joko Widodo yang dinilainya terlalu berorientasi hasil, tetapi menyepelekan proses. Padahal, hasil yang berkualitas, jelas Faisal, lahir dari proses ekonomi yang benar.
Kredit Melambat
BI sendiri dalam rapat dewan gubernur pekan lalu menyatakan bahwa stabilitas sistem keuangan tetap terjaga di tengah intermediasi perbankan yang belum kuat. Terjaganya stabilitas sistem keuangan tercermin pada rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi pada level 23,0 persen dan rasio likuiditas (AL/DPK) pada level 22,6 persen pada September 2017.
Pada bulan yang sama, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berada pada level 2,9 persen (gross) atau 1,3 persen (net), sedangkan pertumbuhan kredit September 2017 tercatat 7,9 persen (yoy), turun dari bulan sebelumnya 8,3 persen (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada September 2017 tercatat 11,7 persen (yoy), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya 9,6 persen (yoy). Untuk keseluruhan tahun 2017, DPK diperkirakan tumbuh sekitar 10 persen dan kredit tumbuh lebih rendah dari perkiraan semula yaitu menjadi sekitar 8 persen.
Dengan mempertimbangkan masih rendahnya pertumbuhan kredit tersebut, Bank Indonesia menetapkan Countercyclical Capital Buffer (CCB) tidak berubah yaitu 0 persen. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong upaya bank dalam meningkatkan fungsi intermediasi.
"Bank Indonesia bersama otoritas terkait akan terus berkoordinasi untuk memastikan stabilitas sistem keuangan dapat tetap terjaga guna mendukung momentum pemulihan ekonomi," kata BI. bud/E-10
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pulau Tabuhan, Surga Mungil di Selat Bali
- 2 Leyton Orient Berharap Kejutkan City
- 3 Anggota Komisi IX DPR RI Pastikan Efisiensi Anggaran Tak Kurangi Layanan Kesehatan Warga
- 4 PPATK Koordinasi ke Aparat Penegak Hukum terkait Perputaran Uang Judi Online Rp28,48 Triliun Jadi Aset Kripto
- 5 Klasemen Liga 1: Dewa United Geser Persija di Posisi Kedua
Berita Terkini
-
AS akan Berlakukan Tarif Impor 25 Persen untuk Baja dan Aluminium
-
INACRAFT 2025, Pameran Kerajinan Tangan Terbesar di Asia Tenggara Sukses Digelar
-
Tampil di Super Bowl, Kendrick Lamar Bawa Pesan untuk Donald Trump
-
Bank Dunia: Ekonomi Indonesia Stabil di 5 Persen di Tengah Perlambatan Global
-
Menko AHY Pantau Kegiatan Cek Kesehatan Gratis di Depok