Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Transisi Energi I Perjanjian Paris Sulit Terwujud karena 5 Negara Masih Bangun PLTU

Pemerintah Belum Berniat Membangun EBT

Foto : ANTARA/OLHA MULALINDA

PLTS LEBIH MURAH I Petugas mengecek panel surya di Kampung Wejim Timur, Raja Ampat, Papua Barat, beberapa waktu lalu. Pemerintah harus mengembangkan EBT seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di daerah terpencil karena harga per kWh-nya jauh lebih murah dibanding Pembangkit Listrik Tenaga Diesel.

A   A   A   Pengaturan Font

"Tidak masuk akal, bagaimana nelayan bisa maju kalau tidak ada cold storage. Mereka tidak bisa pakai cold storage karena listrik sering padam, kan rugi. Itu baru nelayan, belum peternakan dan industri di perdesaaan. Belum lagi bicara pendidikan, bagaimana mau sekolah online kalau tidak punya listrik, mustahil rakyat desa bisa maju," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean, mengatakan pemerintah sekarang harusnya fokus pada EBT di daerah-daerah terpencil. Pemerintah harus mendorong pengembangan EBT baik dengan memberi insentif maupun subsidi agar bauran energi semakin meningkat guna mengejar target tahun 2025 dan 2030. Kalau kembali ke diesel, ini adalah kemunduran jauh.

"Masa kita mau kembali ke era pencemaran lingkungan? Diesel itu juga mahal, jadi negatifnya double yaitu pencemaran lingkungan udara dan harga juga mahal. Sebenarnya pemerintah ini berniat atau tidak mengembangkan EBT. Kalau tidak berniat ya akui saja, jangan berniat tapi ternyata tidak dilakukan. Kalau mau mencapai target EBT di 2025 sebesar 23 pesen, ya harus dilakukan sekarang. Jangan-jangan targetnya bukan tahun 2025, tapi tahun 3025 karena sampai sekarang 5 persen saja belum," kata Ferdinand.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyatakan untuk daerah 3T yang sukar dijangkau, opsi penggunaan energi terbarukan sebenarnya lebih feasible. "Bangun PLTD akan sulit untuk delivery bahan bakar dan biaya produksi listrik akan sangat mahal," kata Fabby.

Berdasarkan perhitungan IESR, jika PLTD dengan harga minyak di level 65 dollar AS per barel, harga pembangkitan listrik diperkirakan di angka 3.500-4.000/ kWh. Sementara dengan opsi energi terbarukan diperkirakan angkanya di level 1.500-2.000 rupiah per kWh. n ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top