Pemecahan Rekor Suhu Panas Terus Berlanjut
Seorang pria mendinginkan diri menggunakan air mancur di tepi Sungai Hudson, New York saat gelombang panas melanda AS, beberapa waktu lalu.
Foto: AFP/YUKI IWAMURANEW YORK - Menurut data dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa, Juni adalah bulan ke-13 berturut-turut di Bumi yang memecahkan rekor suhu panas global. Juni mengalahkan rekor yang dibuat pada tahun 2023 sebagai bulan Juni terpanas yang pernah tercatat.
"Kita harus menganggap ini sebagai hal yang normal. Kita perlu bersiap menghadapi cuaca panas yang lebih sering. Itulah kenyataannya," kata Katherine Idziorek, ahli geografi dan perencanaan masyarakat di University of North Carolina di Charlotte, baru-baru ini.
Dikutip dari The Straits Times, lebih dari separuh populasi AS, hampir 175 juta orang, menghadapi cuaca panas ekstrem pada tanggal 4 Juli, dan dampak dari normal baru ini terus mengguncang negara ini minggu ini.
Di AS bagian barat, kubah panas memicu kebakaran hutan, dan di Houston, kota terbesar keempat di negara itu, panas yang berlebihan mengancam nyawa. Pada tanggal 11 Juli, lima hari setelah Badai Beryl menerjang Texas, lebih dari satu juta orang di Houston masih belum mendapatkan pasokan listrik untuk unit pendingin udara dan peralatan medis mereka.
Semakin Kuat
Gelombang panas merupakan bagian dari pola cuaca alami berupa sistem bertekanan tinggi, yang menyebabkan suhu tinggi yang tidak biasa terjadi selama minimal tiga hari hingga lebih dari sebulan. Namun, gelombang panas semakin kuat dan lebih sering terjadi akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
"Kita telah mengetahui selama beberapa dekade dunia sedang memanas. Ketika gelombang panas yang terjadi secara alami ini terjadi, hal itu diperparah oleh steroid perubahan iklim," kata Alexander Gershunov, seorang ahli meteorologi peneliti di Scripps Institution of Oceanography di University of California, San Diego.
Menurut laporan Copernicus, Juni juga merupakan bulan ke-12 berturut-turut dengan pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celsius atau lebih, dibandingkan dengan suhu pra-industri. Hampir satu dekade lalu, berdasarkan Perjanjian Paris 2015, negara-negara sepakat untuk mencoba membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius untuk menjaga planet ini tetap layak huni.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Pemerintah Kukuhkan JK Sebagai Ketum, Sekjen PMI Versi Agung Laksono Tolak Surat Jawaban Kemenkum
- Hati Hati, Ada Puluhan Titik Rawan Bencana dan Kecelakaan di Jateng
- Malam Tahun Baru, Ada Pemutaran Film di Museum Bahari
- Kaum Ibu Punya Peran Penting Tangani Stunting
- Trump Tunjuk Produser 'The Apprentice', Mark Burnett, sebagai Utusan Khusus untuk Inggris