Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 06 Apr 2022, 16:20 WIB

Mengetahui Lebih Dalam Fenomena FOMO Yang Berkembang di Masyarakat, Begini Kata Para Ahli Soal Dampak Buruk dan Cara Mengatasinya

Foto: Pixabay - Gerd Altmann

Selalu ikut-ikutan mengunggah segala hal mulai dari makanan yang sedang dimakan, hingga fesyen Outfit of The Day atau OOTD di media sosial, padahal apa yang dibeli, kenakan, dan dikonsumsi belum tentu sesuatu yang disukai dan belum terlalu dibutuhkan. Atau selalu memiliki ketakutan akan ketinggalan informasi yang sedang populer (trending) saat ini? Jika Anda melakukannya karena takut dianggap kuno dan ketinggalan zaman, mungkin Anda sedang mengalami FOMO.

Akhir-akhir ini banyak anak-anak muda marak membicarakan istilah FOMO di media sosial. FOMO sendiri merupakan sebuah akronim dari Fear of Missing Out. Dikutip dari Merriam - Webster Dictionary, FOMO adalah kondisi ketika manusia merasa takut tidak terlibat dalam suatu aktivitas menyenangkan yang dialami oleh orang lain. Menurut penelitian terbaru, anak-anak usia muda lebih rentan terbawa budaya FOMO.

Fenomena FOMO bukanlah sebuah fenomena baru. Menurut hasil penelitian, sekiranya FOMO telah ada sejak tahun 2013 yaitu, berdasarkan paper internasional yang berjudul "Motivational, Emotional, And Behavioral Correlates of Fear Missing Out", FOMO merupakan sebuah fenomena dimana manusia merasa khawatir jika orang lain mendapat sesuatu yang diri kita tidak miliki. Seiring berjalannya waktu, melalui transformasi digital, FOMO juga ikut berkembang.

Perbedaan antara fenomena FOMO di era sebelumnya dengan zaman sekarang ini adalah terkait media yang dipakai sebagai pemicu munculnya FOMO. Zaman dahulu orang-orang yang dapat terpicu mengalami kondisi FOMO adalah orang-orang yang gemar membaca koran, artikel di majalah, iklan di radio, bahkan kebaruan dari apa yang dimiliki oleh tetangga sebelah rumah. Saat ini, masyarakat yang mengalami kehadiran FOMO kemungkinan besar karena kecanduan bermain sosial media.

FOMO Itu Baik Atau Buruk?

Ketika seseorang mengalami FOMO, maka fokus diri bisa berubah menjadi hanya tertuju ke orang lain, yaitu kepada orang-orang yang berada di sekitar, terutama pada lingkup hubungan relasi bersama orang-orang yang ada di media sosial. Seperti contoh, seseorang memiliki perhatian untuk melihat unggahan liburan orang lain, barang-barang yang dikenakan oleh orang lain, bahkan dapat menikmati kisah hidup orang lain. Fokus akan dunia luar dapat melupakan realita yang sedang dialami di depan mata diri seseorang

Melihat kehidupan orang lain di media sosial memang tidak ada salahnya selama seseorang mampu mengambil sisi positif dengan menjadikan pencapaian seseorang sebagai motivasi diri agar dapat lebih berkembang, atau menjadikannya sebagai bekal ilmu yang dapat dibagikan kepada orang lain sebagai bentuk edukasi yang informatif.

Tetapi, ketika melihat pencapaian orang lain menjadikan diri gelisah, mendapati perasaan cemas, kemudian iri, dan khawatir akan takut tidak memiliki pengalaman yang sama dengan orang lain, itu sudah menjadi dampak buruk. Dampak buruk yang terjadi ini dikarenakan adanya self-control atau kontrol diri kita yang hilang, sehingga seseorang selalu saja ingin mengikuti trend dan membiarkan emosi disekitar mempengaruhi kondisi kita.

Untuk mengatasi kondisi FOMO yang buruk, seseorang dapat mengadopsi budaya JOMO, yaitu "Joy of Missing Out", dimana JOMO merupakan sebuah sikap penentang FOMO. Menurut Kristen Fuller dalam paper di Psychology Today, JOMO adalah penangkal FOMO yang cerdas, karena pada dasarnya kita dapat merasa puas dengan hadir dimanapun kita berada.

Sesuai dengan kepanjangannya, JOMO dapat membuat kita tetap merasa nyaman ketika kita telah melewatkan banyak hal yang sekiranya penting dan mungkin tidak ingin dilewatkan,

Joy of Missing Out dapat membuat seseorang tetap bersyukur menikmati apapun kondisi yang dialami. Manusia akan menjadi jauh lebih bahagia melewati sesuatu ketimbang tidak dapat merasakan hal yang sama akan peristiwa yang dimiliki oleh orang lain.

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.