Sameer Hosany, Royal Holloway University of London
Hello Kitty tidak terlihat setua usianya. Meskipun baru-baru ini merayakan ulang tahunnya yang ke-50, dia tidak menunjukkan tanda-tanda penuaan, alih-alih pensiun.
Pada tahun 2025, karakter Jepang—bernilai sekitar US$4 miliar (setara Rp64 triliun) per tahun—ini akan membintangi film laga. Taman hiburan dan resor baru juga sudah disiapkan untuknya.
Ulang tahun ke-50 Hello Kitty dirayakan dalam berbagai acara di Jepang, Singapura, Amerika Serikat (AS), dan Inggris. Ia bahkan menerima pesan ulang tahun dari Raja Charles pada jamuan makan kenegaraan di Istana Buckingham.
Untuk karakter sederhana, dengan dua mata bertitik hitam, tanpa mulut, dan hidung kancing kuning, itu adalah pesta yang luar biasa.
Dirancang pada tahun 1974 oleh Yuko Shimizu (yang diyakini tidak banyak mendapatkan keuntungan dari kreasinya), Hello Kitty pertama kali muncul pada dompet koin vinil transparan—dan sejak itu berkembang menjadi kerajaan dagangan bagi lebih dari 50.000 barang berbeda yang dijual di 130 negara.
Awetnya Hello Kitty sebagai karakter, sebagian besar disebabkan oleh kesederhanaannya. Dari segi desain, ia hanya terdiri dari beberapa bentuk dasar: enam garis pendek untuk kumis dan pita merah. Desain minimalis ini membuatnya mudah dikenali dan murah untuk direproduksi.
Karakter Hello Kitty juga merupakan lambang ‘Kawaii’, istilah dalam bahasa Jepang untuk menyebut ‘imut’. Menurut Joshua Dale, seorang pelopor dalam bidang “studi kelucuan”, persepsi imut atas objek memicu naluri psikologis untuk merawat dan melindungi.
Keimutan Hello Kitty membuat anak-anak merasa aman dengan karakter kecil dan bulat itu. Seperti karakter lain (Winnie the Pooh, Mickey Mouse, dan masih banyak sejenisnya lagi), dia memberikan kesan polos dan nyaman, menarik penggemar sejak usia dini—dan berlanjut hingga dewasa bagi mereka yang suka bernostalgia.
Popularitas Hello Kitty dan karakter serupa sebagian besar berasal dari antusiasme abadi orang-orang terhadap antropomorfisme—kecenderungan manusia untuk memberikan sifat-sifat atau karakteristik manusia kepada hewan, benda, atau makhluk yang bukan manusia.
Beberapa orang juga berpendapat bahwa femomena ini merupakan elemen kunci dari infantilisasi budaya, yaitu kecenderungan memperlakukan orang dewasa seolah-olah mereka masih anak-anak.
Hello Kitty juga memiliki alur cerita yang mudah dipahami dan disukai konsumen. Menurut biografinya, Hello Kitty—nama lengkapnya Kitty White—adalah gadis kecil ceria (jadi secara resmi bukan kucing) yang tinggal di pinggiran kota London bersama keluarganya. Tingginya digambarkan setara dengan “lima apel” dan beratnya “tiga apel”. Ia suka membuat kue, dan hobi lainnya termasuk jalan-jalan, mendengarkan musik, dan mencari teman baru.
Kucing perusahaan
Namun, selain keahlian memanggang dan berteman, Hello Kitty memiliki sisi bisnis yang sangat serius dalam karakternya. Sanrio, perusahaan Jepang yang memilikinya, telah menggunakan beberapa strategi cerdik untuk membangun dan mempertahankan kesuksesan merek tersebut.
Kolaborasi dengan perusahaan lain merupakan bagian penting dari strateginya. Pada tahun 1996, Sanrio meluncurkan kolaborasi pertamanya dengan jaringan ritel elektronik di Hong Kong. Kolaborasi itu benar-benar berkembang tiga tahun kemudian ketika perusahaan tersebut bekerja sama dengan McDonald’s untuk menawarkan paket makanan Hello Kitty.
Promosi ini memicu kehebohan di Hong Kong dengan kesuksesan serupa di Taiwan, Jepang, dan Singapura—di mana peluncurannya pada tahun 2000 menyebabkan antrean panjang dan bahkan perkelahian. Sejumlah pelanggan dilaporkan membuang hamburger karena mereka hanya tertarik pada paket mainan desain pernikahan edisi khusus yang menampilkan Hello Kitty dan pacarnya, Dear Daniel.
Tahun ini, koleksi mainan McDonald’s edisi ulang tahun ke-50 di Singapura terjual habis dengan cepat dan segera dijual kembali secara daring.
Di tempat lain, kesuksesan komersial Hello Kitty telah dikaitkan dengan kolaborasi berlisensi dengan merek-merek besar termasuk Nike, Adidas, Crocs, dan label mode Italia Blumarine.
Produk Hello Kitty kini mencakup berbagai benda, mulai dari alat tulis dan stiker hingga oven microwave, pemanggang roti, dan penyedot debu. Karakter imut ini bahkan tampil di gitar listrik Fender Stratocaster dan perhiasan Swarovski.
Ada juga dua taman hiburan berlisensi resmi di Jepang, Sanrio Puroland (di Tokyo) dan Harmonyland (di ?ita), serta satu lagi yang akan dibuka di pulau Hainan, China pada tahun 2025.
Untuk melengkapi serial animasi dan film, komik, buku, dan permainan video, tahun depan Hello Kitty akan mengikuti jejak Barbie untuk muncul dalam film live-action yang diproduksi oleh Warner Bros. Sutradara film tersebut, Jennifer Coyle, mengatakan tayangan ini akan “menyebarkan pesan cinta, persahabatan, dan inklusivitas yang dijunjung tinggi oleh Hello Kitty”.
Namun, terlepas dari semua proyek ini, Sanrio mulai melakukan diversifikasi karakter. Hello Kitty kini menguasai 60% bisnis perusahaan tersebut di AS (99% pada tahun 2013) dan hanya 30% di seluruh dunia. Karakter lain mulai mengisi ruang yang sebelumnya didominasi Hello Kitty.
Menurut peringkat popularitas karakter Sanrio 2024, Hello Kitty menempati posisi kelima, dengan Cinnamoroll (seekor anjing berpipi merah muda) di posisi teratas.
Karya-karya baru lainnya seperti Gudetama (kuning telur yang apatis) dan Aggretsuko (panda merah yang pemarah) menandai pergeseran penting dalam fokus Sanrio. Dari karakter-karakter imut yang menggemaskan, kini mereka beralih ke karakter-karakter yang mencerminkan isu sosial.
Aggretsuko, misalnya, menghadapi diskriminasi gender, kecemasan sosial, dan buruknya keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan. Sementara itu, Gudetama menjadi simbol perjuangan dan aspirasi kaum muda di Jepang.
Namun, seiring datang dan perginya karakter baru, ekspresi khas Hello Kitty tetap tidak akan berubah, seperti yang telah terjadi selama 50 tahun. Wajah dengan tatapan yang sulit dipahami ini merefleksikan kesuksesan komersial yang luar biasa dalam lima dekade.
Sameer Hosany, Professor of Marketing, Royal Holloway University of London
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.